Terjebak dalam Bayang-Bayang Pesan yang Tak Berbalas

46 6 1
                                    


Setelah hampir lima bulan bekerja di Jepang, Husen merasa hidupnya mulai stabil. Kehidupan di negeri sakura memang tidak mudah, tetapi dia berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, bahasa, dan budaya kerja yang berbeda. Di kantor, dia dihormati sebagai seorang pekerja keras, dan di lingkaran sosialnya, Husen berhasil membangun hubungan baik dengan rekan-rekan kerja dari berbagai negara. Tapi, di balik semua pencapaiannya itu, ada satu hal yang terus-menerus mengganggu pikirannya—Sintia.

Sejak hari pertama mereka bertemu di Indonesia, Sintia sudah tahu ada sesuatu yang berbeda dengan Husen. Mereka bukan sekadar teman biasa. Ada percakapan panjang, obrolan mendalam, dan perasaan yang secara perlahan berkembang di antara mereka. Sebelum dia berangkat ke Jepang, hubungan mereka terasa begitu dekat. Meskipun mereka tak pernah benar-benar mendeklarasikan diri sebagai pasangan, percakapan di WhatsApp setiap hari sudah cukup bagi Sintia untuk merasa bahwa Husen memiliki perasaan yang sama.

Namun, semua itu berubah begitu Husen pindah ke Jepang. Awalnya, mereka masih rutin bertukar pesan. Setiap kali Husen mengirim pesan tentang pengalamannya di negeri baru, Sintia selalu membalas dengan semangat, menanyakan bagaimana hari-harinya, bagaimana cuaca, hingga makanan apa yang dia coba. Tetapi lambat laun, balasan dari Husen semakin lama semakin jarang. Pesan Sintia seringkali hanya berujung pada satu centang, dan Husen seakan menghilang begitu saja tanpa penjelasan.

"Kenapa ya dia nggak balas? Apa dia sibuk?" tanya Sintia pada dirinya sendiri sambil memandangi layar ponselnya yang sepi balasan. Pikirannya mulai dipenuhi dengan dugaan-dugaan yang tak pasti. Mungkin Husen sibuk dengan pekerjaannya di Jepang, atau mungkin dia sedang dalam masalah. Sintia mencoba menghibur dirinya, berusaha berpikir positif.

Namun, hari-hari berlalu dan pesan-pesannya tetap tak berbalas. Sintia mulai merasa resah. Setiap kali ponselnya berbunyi, hatinya melonjak berharap itu adalah Husen, tapi selalu kecewa ketika melihat notifikasi dari orang lain. Setiap malam sebelum tidur, dia akan membuka WhatsApp, menatap obrolan mereka yang dulu penuh kehangatan namun kini menjadi kosong dan dingin. Terkadang, dia mencoba mengirim pesan lagi, berharap Husen akan merespon. Namun, yang didapatnya hanya keheningan.

Di tengah kesibukan kerjanya di Jepang, Husen mulai merasa terganggu. Rasa gelisah itu semakin memuncak ketika Husen akhirnya membalas, namun hanya dengan pesan singkat:

" Maaf ya sintia, sudah membiarkan pesan whatsapp kamu begitu saja, aku disini juga banyak kegiatan, kerja, pulang, masak, belajar, tidur seperti itu terus menerus, jarang buka hp. "

" Bahkan keliatannya aku jadi pria buruk, aku sekarang belum tentu bisa melaksanakan sholat 5 waktu, terutama dzuhur dan ashar itu paling susah dikarenakan tidak adanya tempat sholat juga susahnya mencari keran air. "

"Disini kerja ku, kondisi yang tidak memungkinkan bukan,tapi aku tidak nyerah kok, aku terus berdoa semoga ditemukan kunci permasalahan ku. "

Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada pertanyaan bagaimana kabar Sintia, tidak ada obrolan seperti dulu. Sintia menatap pesan itu dengan kening berkerut. Semakin hari, semakin jelas bahwa ada jarak yang tumbuh di antara mereka, namun Sintia tidak tahu apa penyebabnya. Setiap kali dia mencoba bertanya, Husen hanya merespon dengan singkat, atau bahkan tidak sama sekali.

"Kenapa dia begini? Apa yang salah?" Sintia mulai tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia mulai merasa kehilangan fokus dalam pekerjaannya. Setiap pagi, bukannya bersemangat menyambut hari baru, pikirannya selalu kembali ke WhatsApp yang tak lagi menyala dengan pesan dari Husen. Semakin lama, rasa cemas dan marah bercampur menjadi satu.

Suatu malam, setelah bekerja lembur, Sintia duduk di apartemennya, menatap kosong ke arah kota Semarang yang gemerlap dari jendela. Dia merasa terasing. Bukan karena dia berada di kota asing, melainkan karena perasaan yang ia jaga selama ini, perasaan terhadap Husen, mulai runtuh. Dia merasa seolah-olah semua pengorbanannya selama ini sia-sia. Husen, yang dulu menjadi tempatnya bercerita dan berbagi perasaan, kini berubah menjadi seseorang yang jauh, seseorang yang tak lagi peduli.

Di puncak keputusasaan, Sintia memutuskan untuk mengirim satu pesan terakhir kepada Husen. Sebuah pesan panjang yang berisi seluruh perasaannya—tentang bagaimana dia merasa diabaikan, tentang harapan yang dulu pernah ada di antara mereka, dan tentang betapa sulitnya baginya berada di kota asing tanpa dukungan dari seseorang yang dianggapnya spesial.

Setelah mengirim pesan itu, Sintia menunggu. Beberapa menit berlalu. Kemudian berjam-jam. Hari pun berganti, namun tak ada balasan. Sintia merasa tubuhnya mulai lelah, bukan hanya fisik, tapi juga mental. Dia terjebak dalam lingkaran harapan yang tak kunjung menemukan ujungnya.

Akhirnya, setelah beberapa hari tanpa ada respon dari Husen, Sintia menyadari sesuatu yang menyakitkan namun penting—dia tidak bisa terus-terusan menunggu sesuatu yang mungkin tidak pernah akan terjadi. Dia terlalu berharap pada seseorang yang tak lagi hadir dalam hidupnya. Rasa kecewa itu begitu dalam, hingga hampir membuatnya stres dan kehilangan fokus pada dirinya sendiri.

Di pagi yang dingin itu, Sintia memutuskan untuk berhenti mengirim pesan. Dia menghapus chat mereka dari WhatsApp dan menutup teleponnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Sintia merasa lega. Dia sadar bahwa dia tidak bisa terus menggantungkan kebahagiaannya pada balasan pesan yang tak pasti. Semarang adalah babak baru dalam hidupnya, dan dia harus mulai menata ulang kehidupannya tanpa terus terjebak dalam bayang-bayang Husen.

Ayu Nirmala | 20/01/2024

Kasih Yang Tersembunyi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang