Rahasia di Balik Masa Lalu dan Pertemuan dengan Samuel

20 5 1
                                    


Hidup Sintia kembali bergejolak setelah pertemuannya dengan Husen di depan masjid beberapa bulan lalu. Sejak saat itu, mereka hanya berkomunikasi sesekali, namun hubungan mereka tak lagi seperti dulu. Ada sesuatu yang mengganjal di antara mereka, sesuatu yang Sintia tidak bisa pahami sepenuhnya. Ia mulai merasakan ada jarak yang semakin besar di antara mereka—bukan hanya karena Husen pernah meninggalkannya, tetapi juga karena ada rahasia yang tampaknya disembunyikan oleh Husen dan keluarganya.

Suatu sore, ketika Sintia sedang berbincang dengan teman dekatnya Rina, dia mendapat kabar yang mengejutkan.

"Sintia, kamu tahu nggak kenapa keluarga Husen seperti tidak pernah benar-benar mendukung hubungan kalian?" tanya Rina dengan nada hati-hati, seolah takut membuka luka lama.

Sintia mengerutkan kening. "Maksud kamu apa, Rin? Selama ini Husen tidak pernah bilang kalau keluarganya tidak setuju."

Rina menarik napas panjang. "Aku nggak ingin membuatmu kecewa, tapi aku dengar dari orang-orang dekat mereka. Keluarga Husen punya rahasia lama yang melibatkan keluargamu. Mereka tidak suka karena ada masalah di masa lalu yang membuat mereka tidak ingin Husen dekat denganmu."

Sintia merasa jantungnya berdebar kencang. "Rahasia? Masalah apa? Kenapa aku tidak pernah tahu tentang ini?"

Rina menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu detailnya, Sin. Tapi yang jelas, masalah ini berkaitan dengan ekonomi keluarga kalian di masa kini. Mungkin itulah sebabnya Husen kadang-kadang seperti menjauh dan tidak pernah benar-benar terbuka tentang keluarganya."

Kata-kata Rina terus terngiang di kepala Sintia selama beberapa hari berikutnya. Ada rahasia besar yang disembunyikan dari dirinya, dan itu mungkin menjadi alasan kenapa Husen sering kali tampak ragu-ragu atau menghindar ketika hubungan mereka mulai mendalam. Sintia merasa terluka—bukan hanya karena Husen, tapi juga karena keluarganya sendiri tidak pernah memberi tahu apa pun tentang hal ini.

Di tengah kebingungan itu, Samuel datang ke dalam hidupnya.

Samuel adalah rekan kerja baru di kantornya, pria yang tegas, ambisius, dan galak. Dari hari pertama, Samuel menunjukkan sikap otoriter yang membuat semua orang di kantor merasa canggung. Namun, di balik sikap kerasnya, Samuel adalah pria yang sangat profesional dan memiliki kemampuan luar biasa di bidangnya. Sintia tidak bisa menghindarinya karena mereka sering terlibat dalam proyek yang sama.

Awalnya, Sintia hanya menganggap Samuel sebagai sosok atasan yang menyebalkan. Dia selalu memberikan tugas dengan nada perintah, tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Tetapi seiring waktu, Sintia mulai memperhatikan bahwa Samuel punya sisi lain yang lebih kompleks.

Suatu malam, setelah bekerja lembur di kantor, Samuel mendekati Sintia. Wajahnya terlihat serius seperti biasa, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda. "Sintia, aku lihat kamu belakangan ini kelihatan terganggu. Ada masalah?"

Sintia terkejut mendengar Samuel bertanya dengan nada peduli. Ini pertama kalinya Samuel berbicara dengan nada yang lebih manusiawi.

"Nggak ada apa-apa, cuma banyak pikiran saja," jawabnya singkat.

"Tentang pekerjaan atau hal lain?" tanya Samuel, tatapannya menelusuri wajah Sintia seolah dia benar-benar ingin tahu.

Sintia ragu sejenak, tapi kemudian tergerak untuk bercerita. "Ada hal-hal dari masa lalu yang baru aku ketahui. Dan itu mengganggu pikiranku."

Samuel mengangguk, seolah mengerti. "Masa lalu kadang memang bisa menghantui, tapi kamu harus ingat bahwa kita hidup di masa sekarang. Jangan biarkan itu menghancurkan fokusmu," katanya dengan tegas, namun masih terasa galak.

Hari demi hari berlalu, dan tanpa Sintia sadari, Samuel mulai lebih sering mendekatinya. Mereka mulai terlibat percakapan yang lebih dalam, bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang kehidupan pribadi. Samuel tampak seperti pria yang selalu memiliki rencana dan tujuan jelas dalam hidupnya—sesuatu yang Sintia mulai kagumi, meskipun sikap keras Samuel sering kali membuatnya jengkel.

Namun, seiring waktu, Sintia mulai merasakan bahwa Samuel memanfaatkan situasi dirinya yang sedang rapuh. Samuel, dengan kecerdasannya, tahu bagaimana memainkan emosinya. Setiap kali Sintia merasa putus asa atau bingung tentang masalah dengan Husen, Samuel selalu ada dengan nasihat yang terdengar bijak namun tersirat memanipulasi.

"Kenapa kamu terus memikirkan Husen? Dia jelas-jelas tidak bisa memberikan kepastian untukmu," kata Samuel suatu hari dengan nada tegas. "Kamu butuh seseorang yang bisa mendukungmu, bukan seseorang yang terus-menerus membuatmu bertanya-tanya."

Sintia terdiam, merasa Samuel mungkin ada benarnya. Namun, dia juga merasa ada sesuatu yang salah. Samuel tampak terlalu mengendalikan, seolah-olah dia ingin mengarahkan hidupnya ke jalan yang diinginkan Samuel, bukan yang Sintia inginkan sendiri.

Semakin lama, Sintia mulai merasa bahwa Samuel punya agenda tersembunyi. Dia sering memberikan tugas-tugas yang semakin berat padanya, menghabiskan waktu berjam-jam di kantor hanya untuk hal-hal yang tampaknya tidak mendesak. Sintia merasa dipaksa untuk membuktikan diri, bukan hanya di pekerjaan, tetapi juga dalam hubungan mereka yang mulai terasa tak seimbang.

Suatu malam, ketika Sintia akhirnya berani menanyakan tujuan Samuel mendekatinya, pria itu hanya tersenyum samar. "Kamu adalah orang yang punya potensi besar, Sintia. Tapi kamu terlalu terjebak dalam masa lalu. Kamu butuh orang yang bisa memaksimalkan potensimu. Dan aku bisa membantumu melakukan itu."

Sintia mulai sadar bahwa Samuel tidak benar-benar peduli padanya. Dia melihatnya hanya sebagai alat untuk mencapai ambisinya, bukan sebagai seseorang yang seutuhnya dihargai. Namun, Samuel sangat pandai memutar balik keadaan, membuat Sintia merasa bersalah ketika ingin menjauh darinya.

Dalam kebingungan dan dilema itu, Sintia akhirnya menghubungi Husen lagi. Dia butuh jawaban, bukan hanya tentang masa lalu keluarganya, tetapi juga tentang perasaannya terhadap Husen yang masih menggantung.

Pertemuan mereka kali ini berbeda. Husen tampak lebih tenang, lebih dewasa. Di sebuah kafe kecil yang tenang, mereka duduk berdua, mencoba membuka semua hal yang belum pernah terucap.

"Aku tahu kakakku tidak setuju dengan kita, Sintia," kata Husen, menghela napas berat. "Itu karena kakakku sudah memilihkan wanita anak pengusaha itu untukku, tapi bapakku juga punya pilihan sendiri. Tapi aku tidak pernah setuju dengan cara mereka melihat kamu. Kamu bukan masa lalu itu."

Sintia merasa dadanya lega mendengar Husen berbicara dengan jujur. Namun, dia juga sadar bahwa hubungan mereka mungkin tak bisa berjalan lancar tanpa persetujuan keluarga Husen.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan, Husen? Kita tidak bisa terus begini," ujar Sintia dengan lembut.

Husen menatapnya dengan tegas. "Aku akan bicarakan dengan keluargaku. Kalau mereka tidak bisa menerimamu, aku harus membuat pilihan. Dan aku tahu pilihan apa yang harus kuambil."

Ayu Nirmala | 15/02/2024

Kasih Yang Tersembunyi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang