Surat yang Tak Pernah Terkirim

27 5 1
                                    


Sintia duduk di dekat jendela kamarnya, memandang hujan yang turun perlahan membasahi jalanan kota Semarang. Langit tampak kelabu, mencerminkan hatinya yang masih dipenuhi perasaan tidak menentu. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak Husen memutuskan untuk meninggalkannya tanpa sepatah kata, tanpa penjelasan, dan yang paling menyakitkan, tanpa perpisahan. Semua itu terasa begitu mendadak, membuatnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dalam hati dan pikiran Husen saat itu.

Setelah memblokir seluruh sosial media dan nomor WhatsApp, Husen seakan lenyap dari hidupnya. Kabar yang terakhir dia dengar adalah bahwa Husen kini berada di Jepang, memulai kehidupan baru yang jauh dari dirinya. Namun, di balik semua itu, rasa cintanya pada Husen masih tersisa, meski perih dan penuh kekecewaan. Tak terhitung berapa kali Sintia mencoba menulis pesan untuk Husen, tapi selalu berakhir dengan menghapusnya. Hingga pada suatu malam, ketika sepi benar-benar tak tertahankan, dia mulai menulis surat yang tak pernah terkirim.

Dengan pena di tangan, Sintia menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang selama ini terjebak di dalam hatinya.

Untuk Husen, di tempat yang jauh;

Entah mengapa, aku masih merasa perlu menulis ini, meski aku tahu surat ini mungkin tak akan pernah sampai padamu. Ada begitu banyak yang ingin kusampaikan, begitu banyak hal yang selama ini kusimpan dalam diam.

Sejak kepergianmu, aku sering bertanya-tanya, apa yang terjadi? Apa yang ada di dalam pikiranmu saat memutuskan pergi tanpa pamitan? Aku ingin marah, sungguh. Aku ingin menyalahkanmu karena memilih meninggalkanku begitu saja, seolah-olah apa yang kita punya selama ini tidak ada artinya bagimu. Tapi di sisi lain, aku juga tahu, mungkin kamu sendiri sedang menghadapi dilema yang lebih besar dari yang aku bisa bayangkan.

Aku tahu keluargamu tidak pernah sepenuhnya menerima keberadaanku. Aku tahu mereka punya rencana lain untuk hidupmu—rencana yang tidak pernah melibatkan aku. Meski begitu, aku percaya kita bisa melewati semuanya bersama-sama. Aku percaya cintamu cukup kuat untuk melawan semua itu. Tapi ternyata aku salah. Dan kini, yang tersisa hanyalah bayangan kenangan yang tak lagi bisa kusentuh.

Aku mencoba membencimu, sungguh. Aku ingin melupakanmu secepat mungkin. Namun, kenyataannya, aku tidak bisa. Setiap sudut kota ini masih mengingatkanku pada kita. Tempat-tempat yang dulu sering kita datangi bersama, tawa yang kita bagi, bahkan obrolan kecil yang sepele—semuanya masih terpatri di sini, di hatiku.

Husen, apakah kau bahagia di sana? Apakah hidupmu di Jepang berjalan sesuai dengan harapan keluargamu? Aku sering berpikir, apakah kau pernah sesekali memikirkan aku, atau apakah aku hanyalah bagian dari masa lalu yang dengan mudah kau tinggalkan?

Aku hanya ingin tahu satu hal—kenapa? Kenapa kamu memilih pergi tanpa sepatah kata? Kenapa kamu memutuskan untuk memblokir semua cara kita berkomunikasi? Apakah aku begitu mudah dilupakan bagimu?

Aku masih ingat malam terakhir kita berbicara. Saat itu kamu tampak gelisah, tapi aku tidak ingin memaksamu untuk bercerita. Mungkin jika aku lebih peka, aku bisa melihat tanda-tanda bahwa kamu akan pergi. Tapi aku terlalu percaya bahwa cinta kita cukup kuat untuk menahan semua badai.

Aku tidak ingin terus terjebak dalam masa lalu, Husen. Tapi sebelum aku bisa benar-benar melanjutkan hidupku, aku butuh jawaban. Aku butuh tahu apa yang membuatmu pergi seperti itu, agar aku bisa menutup bab ini dan akhirnya berdamai dengan semuanya.

Meski semua ini terasa seperti akhir, aku ingin kamu tahu satu hal: aku tidak menyesali apa pun tentang kita. Aku tidak menyesal pernah mencintaimu, tidak menyesal telah memberikan hatiku untukmu. Kamu pernah menjadi bagian penting dari hidupku, dan meski akhirnya kamu pergi, aku akan tetap menghargai kenangan kita.

Kasih Yang Tersembunyi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang