si pertama yang paling mencintai (2)

565 66 4
                                    

Jayde menginap di rumah sakit semalaman. Sepertinya, agenda untuk memilih sekretaris baru gagal karena hari ini Jayde tidak berniat untuk berangkat kerja.

Jayde berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan sebungkus plastik berisi bubur dan kopi di tangan kanannya, itu adalah sarapannya pagi ini.

Ketika ia membuka pintu ruang rawat Veitch, sang empunya telah bangun dan duduk di ranjang menatap ke jendela. Jayde merinding, ia tiba-tiba merasa dejavu.

Mengabaikan ketidak nyamanannya, Jayde masuk dan bertanya, "Kau sudah bangun? Perlu ku panggilkan dokter?" 

Veitch tidak menjawab, ia masih menatap kosong ke jendela. Jayde Menarik kursi dari sudut ruangan, memindahkannya tepat d samping ranjang Veitch.

"Ayo sarapan," ajaknya, ia membuka plastik yang ia bawa mengeluarkan Styrofoam berisi bubur itu dan membukanya.

".... Jayde" akhirnya, Veitch membuka suaranya.

"Iya?" Jayde mendongak untuk menatap Veitch.

"Terima kasih sudah datang" ucap Veitch singkat, yang langsung membuat tanda tanya besar di kepala Jayde.

Jayde berkedip, "aku sudah di sini dari kemarin"

Veitch memejamkan matanya, sinar matahari pagi menerpa wajahnya yang pucat. Setelahnya, Veitch sama sekali tidak berbicara.

Merasa diabaikan Jayde hanya menghela nafas, ia mengaduk bubur putih itu, lalu menyendoknya dan mengarahkannya ke bibir Veitch.

"Ayo makan" katanya dengan suara lembut.

Veitch menggeleng pelan, tatapannya masih lurus ke luar jendela. Jayde menghela nafas, tangannya terulur untuk menyentuh pipi Veitch. Namun, tangannya segera ditepis oleh sang empunya.

"Jangan sentuh aku!" Teriak Veitch dengan histeris, tubuhnya gemetar hebat. ia menarik diri meringkuk di sudut ranjang.

"Jangan... Jangan... Jangan..." Racaunya.

gerakan yang kasar itu telah menaik infusnya hingga terlepas. Kini, darah mengalir dari punggung tangan Veitch menetes mengotori seprai putih rumah sakit. Melihat darah membuat Jayde panik, ia menekan tombol darurat berulang kali dengan tangan gemetar.

"Vei, tidak apa-apa, Oke....? Semua akan baik-baik saja" bujuk Jayde.

Suaranya bergetar, meski begitu, Jayde masih berusaha menenangkan Veitch yang panik. Ia tidak ingin lagi melihat darah apa lagi itu dari Veitch.

Jayde mengulurkan tangannya hendak menggapai Veitch yang sudah di ujung ranjang, ia hanya takut Veitch akan terjatuh. Namun, Veitch segera menghindar sehingga membuat tubuhnya limbung dan terjatuh dari ranjang. Untungnya, Jayde segera menaik tangan Veitch, menahannya untuk tidak terjatuh menghantam lantai yang keras.

"Veitch!" Pekik Jayde tanpa sadar.

Suaranya yang tinggi itu membuat tubuh Veitch kembali gemetar hebat, ia memberontak berusaha melepaskan diri dari Jayde.

"Tidak mau! Aku tidak mau! Lepaskan!"

Cengkraman Jayde menjadi lebih erat, "Vei! Veitch! Tenanglah! Lihat aku! Lihat aku!"

Gerakan perlawanan Veitch terhenti, dengan ragu-ragu ia mendongak menatap lurus ke mata Jayde yang penuh rasa khawatir. Namun, tatapan itu tumpang tindih dengan ingatan buruk Veitch, di mana Jayde menatap Veitch dengan tatap jijik seolah sedang melihat seonggok kotoran.

"Bukan aku... Bukan aku yang salah... Maafkan aku, jangan buang aku"

Jayde tampak kebingungan dengan apa yang Veitch katakan, ia mengusap pipi yang basah karena air mata itu dan dengan lembut menciumnya.

The Ten Failed Lives Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang