natal dan tahun baru

356 47 4
                                    

Setelah dirawat selama seminggu, Veitch akhirnya dipulangkan. Mereka kini duduk di bangku belakang mobil sedangkan sopir mereka menyetir dengan kecepatan sedang.

Jayde melirik ke Veitch yang memandang ke luar jendela, dia tampak menikmati perjalanan dalam diam.

"Vei, bagaimana jika akhir pekan besok kita pergi jalan-jalan?" Jayde bertanya memecah keheningan di antara mereka.

"Hmm," jawab Veitch singkat tanpa menolehkan kepalanya.

Ketidaknyamanan muncul di dada Jayde, ia memejamkan mata menekan ketidaknyamanan itu dan kembali bertanya dengan suara seceria mungkin

"Kalau begitu kau mau kemana?"

Jayde menghidupkan ponselnya mencari informasi mengenai tempat-tempat yang romantis dan indah.

Membayangkan ia dan Veitch berjalan di pinggir pantai sembari saling bergandengan tangan, atau mereka yang menaiki bianglala dan menikmati pemandangan dari puncak bianglala, pasti sangat menyenangkan.

"Kita bisa ke pantai, atau taman bermain?" Ia menyebutkan satu persatu tempat wisata yang muncul di paling atas pencarinya. Ketika itu barulah, Veitch menoleh untuk menatap Jayde.

Melihat Veitch yang meresponnya, ketidaknyamanan yang sebelumnya ia rasakan telah lenyap.

"Berbelanja di mall XX," kata Veitch singkat dengan senyuman yang tidak mencapai matanya.

"...." Jayde terdiam, bayangannya hancur berkeping-keping. Untungnya, jayde bisa mengendalikan ekspresinya dengan baik dan tersenyum lembut pada Veitch.

"Itu ide bagus, kau bisa membeli apapun di sana."

Veitch mengangguk, ia bersandar pada sandaran mobil dan perlahan menutup matanya.

Sekitar 30 menit mereka di perjalanan, mereka akhirnya sampai di mansion. Pintu depan telah terbuka, di sana Yola menunggu dengan senyum cerah di wajahnya.

Jayde keluar lebih dulu, ia memutari mobil dan membuka pintu mobil di sisi lain. Tangannya ia ulurkan pada Veitch memintanya untuk menggenggamnya.

Veitch menatap ke tangan itu, sebelum menerimanya. Mereka berdua berjalan bergandengan tangan memasuki mansion, Yola hanya tersenyum hangat melihat kedua tuannya itu.

"Saya sudah menyiapkan makan siangnya tuan," ujar Yola yang di balas anggukan oleh Jayde.

Veitch memandang Jayde kemudian beralih ke tangan mereka yang saling bertautan.

Kebaikan Jayde ini ntah mengapa membuat dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya, seolah ia mengkhawatirkan akan sesuatu.

Tapi apa?

Veitch tidak menyadari bahwa ia telah sampai di depan meja makan, Jayde telah lama melepaskan tangannya guna menarik kursi untuk didudukinya.

"Vei, ayo duduk dan makan bersama."

Veitch melangkah mendekat dan duduk di kursi yang telah Jayde siapkan, setelah itu, Jayde memutar dan duduk di depan kursi Veitch. kemudian, mereka pun memulai makan siang mereka.

Veitch memandang Jayde, ia terbiasa memberikan kata-kata singkat untuk memecah keheningan di antara mereka.  Yang tidak biasa di sini adalah Jayde yang terus menjawabnya seolah enggan percakapan mereka berakhir.

Hati Veitch ntah mengapa menghangat. Di Lubuk hatinya ia berdoa agar ia dan Jayde semakin dekat dan bahagia hingga akhir hayat mereka.

*******

Tibalah mereka di hari yang dijanjikan, mereka pergi ke tengah kota menuju mall XX, mall terbesar di kota itu.

Veitch mengenakan mantel tebal berwarna coklat tua serta syal hitam yang terlilit di lehernya. Sedangkan Jayde menggunakan sweater hitam dan juga celana hitam panjang. Mereka berduaan memasuki mall itu beriringan sembari berpegangan tangan.

"Apa yang ingin kau beli?" Tanya Jayde.

"Pohon"

"Hah?" Jayde menatap Veitch tidak percaya.

Melihat ekspresi Jayde membuat Veitch tertawa, "Kita perlu pohon natal di rumah, meski kita melewatkan natal tapi tahun baru masih dalam suasana natal bukan?"

Seketika Jayde terbelalak, ia baru ingat kalau ini adalah penghujung tahun. Seminggu ini jadwalnya padat karena kehadirannya yang kosong di perusahaan saat Veitch sakit.

Di tambah dengan Freya yang masih berkeliling di sekitarnya seperti lebah membuatnya benar-benar stres sampai tidak sadar bahwa dalam hitungan hari tahun akan berganti.

"Mungkin agak sulit menemukan pohon yang bagus sekarang, tapi kita pasti menemukannya," Jayde berujar dengan penuh tekad, membuat Veitch yang berada di sampingnya terbelalak sebelum tersenyum lembut.

Meski begitu, mereka terkadang mampir ke beberapa toko untuk melihat beberapa sovenir yang menarik.

Langkah Veitch terhenti di depan toko pecah belah, Jayde pun yang berada di sampingnya berhenti ketika tidak mendengar suara langkah kaki Veitch.

Melihat mata Veitch yang terpaku pada toko pecah belah, Jayde mendorong punggung Veitch pelan membuat sang empu menoleh padanya.

"Ayo masuk dan lihat apa yang bagus di dalam," ajaknya.

Veitch tersenyum lembut, ia melangkah memasuki toko itu dengan semangat tanpa menyadari bahwa Jayde telah melihat ujung telinganya memerah.

Jayde tidak pernah menyangka akan melihat sisi Veitch yang seperti ini, karena selama ini yang ia lihat adalah seorang pria dengan aura suram yang terlihat sangat waspada dengan sekitarnya.

Jayde kemudian melangkah menyusul Veitch yang tengah melihat sepaket mug couple  yang terpajang si rak paling depan toko.

"Mug?" Tanya Jayde tanpa sadar.

Tanpa menoleh Veitch berkata, "aku ingin menikmati kembang api tahun baru dengan secangkir coklat panas bersamamu."

Jayde terdiam sebelum menepuk lembut kepala Veitch, "pilihlah apapun yang kau suka."

Dengan cukup pertimbangan akhirnya Veitch memilih sepasang mug berwarna putih dengan gambar beruang di masing-masing gelas.

Setelah membayar, Jayde dan Veitch langsung pergi menuju toko tempat pohon natal di jual.

"Ku pikir kau akan membeli pohon sungguhan," ujar Jayde saat melihat pohon natal buatan di depan mereka.

"Mahal, lagipula perawatan pohon asli lebih sulit," Veitch menoel-noel daun pohon itu.

Mendengar kata 'mahal' dari mulut Veitch membuat Jayde sedikit sakit hati. Sudah lama sekali ia tidak mendengar kata-kata seperti itu bahkan seumur hidup Jayde tidak pernah mendengarnya.

"Tidak mahal," bantahnya.

Mendengar nada Jayde yang tampak tidak suka, Veitch menoleh dan mendapati sang empu sedang cemberut sembari menatapnya. Melihatnya hati Veitch tergelitik hingga membuatnya  tertawa. Manis sekali, batinnya.

"Jangan tertawa, aku tidak bercanda."

Kata-kata itu semakin membuat tawa Veitch mengeras, ia memegangi perutnya dan air mata membasahi sudut matanya.

Jayde terpaku pada tawa Veitch yang tampak begitu ceria dan berwarna, sehingga ia tanpa sadar berkata;

"Kau tampak lebih manis saat tertawa."

Tawa Veitch seketika terhenti, sebuah ingatan terputar di kepalanya. Saat mereka masih SMA, mereka pergi berdua ke mall untuk membeli alat tulis.










***********

Catatan penulis:

Hai guys, maaf lama banget upnya. Aku kecanduan main game terus belakangan ini ಥ⁠‿⁠ಥ

Aku tetep usahain buat cerita ini tamat kok, aku gak akan biarin cerita ku terbengkalai terlalu lama hehehe<3

The Ten Failed Lives Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang