12

150 52 13
                                    

"Gue tunggu di sini aja," Kenzie menyilangkan tangan didepan dada dengan kepala menunduk ke tanah.

"Ayo, Ken, sebelum Renan beneran pulang ke peristirahatan terakhirnya," Seno menangkup kedua pipi Kenzie dan mengangkat ke atas untuk menatap matanya.

Saat ini keempat lelaki itu sedang berada dibawah pohon beringin di pemakaman. Sekitar 20 meter di depan sana, orang-orang sedang berkerumun menggali tanah.

Kenzie dengan kasar menepis tangan Seno dari pipinya, menatap kearah gerombolan orang yang tengah melangsungkan proses pemakaman.

"Dari sini juga keliatan, bodoh."

"Ken, Renan itu sahabat kita. Tolong... Lo jangan gini dong." Bujuk Alvaro yang hampir menangis.

"Gini gimana? Jangan maksa gue bisa? Risih tau nggak! Kalian kalau mau liat Renan dimasukin ke tanah, ya liat aja sana!" Kedua tangannya mengepal, Kenzie membuang muka dari teman-temannya.

"Jahat lo." ucap Daren dengan singkat, lalu menggandeng tangan Alvaro dan Seno, membimbing kedua temannya menuju pemakaman Renan, meninggalkan Kenzie yang masih berada di bawah pohon beringin.

Kenzie menghela nafas, matanya terus tertuju pada tanah lembab dibawahnya. "Gue jahat, ya? Maaf." Gumam Kenzie.

"Bukan gue sih yang jahat, tapi Alvaro. Nuduh Renan gitu aja dan sekarang udah terbukti kalau Renan nggak bersalah. Yang parahnya lagi, sampai hari ini pelakunya masih hidup, berkeliaran di alam bebas. Kemungkinan besar dia masih mencari mangsa selanjutnya." Kenzie mengangkat kepalanya, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari TPU.

••••

Pagi hari yang sudah cerah, remaja laki-laki berkaki jenjang itu sudah bangun dari tidurnya. Ia membuka jendela kamar dan menatap lamat ke arah langit yang dilapisi dengan gumpalan awan.

"Hari yang bagus," ujarnya lalu menghirup udara segar lekat-lekat.

"Udah jam berapa nih?" Kenzie menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Betapa kagetnya ia setelah melihat bahwa sekarang sudah pukul setengah tujuh pagi. Artinya, hanya tersisa setengah jam saja untuk bersiap-siap dan pergi ke sekolah.

"Telat dong gue!" Kenzie memekik dan langsung bergegas berlari masuk ke kamar mandi.

Berbanding terbalik dengan Kenzie, sekarang Alvaro sudah dalam perjalanan menuju sekolah. Niat hati ingin santai berkendara, namun sial memori tentang janggalnya kematian Renan kembali menghantui isi pikirannya hingga membuat Alvaro tidak fokus berkendara.

"Maaf, Ren," Alvaro bergumam dan mencoba fokus kembali pada jalanan. Agar pikirannya tidak berkecamuk kemana-mana, alvaro bersenandung sembari terus mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.

Sekitar 5 menit kemudian, Alvaro tiba di parkiran sekolah tanpa ada kendala apapun diperjalanan tadi. Sekarang, ia langsung berlari menuju kelas.

Tepat di depan pintu kelas, wajah ceria Alvaro langsung berubah menjadi sayu seakan menunjukkan kesedihan yang mendalam, ketika ia melihat Seno dan Daren kini sedang mengangkat meja serta kursi yang biasa diduduki oleh Renan. Namun sekarang diletakkan di paling belakang, sama halnya dengan meja kursi milik Rafka dan Narel.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang