🔗

739 66 21
                                        

"Ayah Jerry itu Ayahnya Ajiel, Bunaaa." Kepalanya masih senantiasa menunduk tak berani menatap Nathan. Jujur saja sebenarnya Ajiel takut, takut karena tak pernah melihat sang Buna semarah ini.

"BUKAN!" Nathan berteriak, bahkan dirinya tak memikirkan bagaimana kini kondisi anaknya yang begitu ketakutan.

Nathan sangat lemas, dia bingung dengan situasi saat ini. Entah sejak kapan hal ini terjadi, Nathan tidak tahu. Bahkan dirinya tak habis pikir jika hal ini akan terjadi, dan....

Bagaimana bisa Jerry dengan seenaknya menemui Ajiel?

Mana janjinya?

Mana kesanggupannya untuk membiarkan Ajiel hidup tenang hanya bersama Nathan saja?

Apakah Jerry benar-benar menginginkan Nathan melakukan itu? Maksudnya, apakah Jerry benar-benar ingin Nathan melukai Ajiel?

Tolong...

Setidaknya jika tidak bisa menepati janji jangan pernah membuat sebuah janji. Dua kali Jerry mengingkari, dua kali juga Jerry membuat Nathan kembali hancur.

Bagaimana ini? Nathan sama sekali tidak tenang. Dia gelisah.

Gelisah jika Jerry nekat membawa Ajiel pergi darinya.

Gelisah jika keluarga Jerry mengetahui akan hal ini.

Tidakkah ia merasa kasihan dengan hidup Nathan? Bukan maksud Nathan ingin dikasihani, hanya saja... Bisa kah kalian membiarkan Nathan hidup tenang tanpa harus memikirkan hal gila?!

"Agh!" Nathan kembali berteriak.

Prang!

Gelas dan juga piring itu benar-benar jatuh dan pecah karena Nathan dengan sengaja melempar.

Nafasnya memburu, hatinya sesak. Lagi dan lagi rasa sakit dan sesak ini datang lagi. Nathan sangat benci!

Taukah kamu rasa sakit ketika dirimu dikhianati berkali-kali oleh orang yang kamu cintai? Bisakah kalian membayangkan betapa sesak dan nyeri dada kalian?

Rasanya ingin mengamuk dan berteriak sekuat tenaga, namun tidak bisa!

Rasanya ingin mencakar bahkan membunuh orang itu, dan lagi-lagi tidak bisa!

Karena apa? Jelas Karena kita benar menyayangi orang tersebut.

Nathan yang malang, kesialan itu bahkan belum juga berhenti. Kesialan itu ternyata masih saja terus-menerus menghinggapi dirinya.

Ajiel kini sudah tidak sanggup lagi melihat keadaan Nathan, ia menangis sambil menatap keadaan sang Buna yang terlihat sangat kacau.

Ajiel takut, tapi Ajiel juga tak tega.

"Bunaaa," lirih Ajiel.

Nathan tak menggubris, dirinya masih mencoba untuk meredakan emosinya. Bahkan Nathan pun tak sadar jika kini telapak tangannya sudah berdarah akibat mencengkram pecahan gelas yang jatuh karena perbuatannya sendiri.

"Buna, Ajiel minta maaf. Ajiel tidak jujur sama Buna selama ini, tapi Buna maaf jika Ajiel tidak bisa menuruti permintaan Buna untuk menjauh dari Ayah. Ajiel sayang sama Ayah." Tangis Ajiel semakin menjadi.

Nathan menoleh, dia tatap lamat netra anaknya itu yang kini sudah dibanjiri oleh air mata. "Ajiel ngga sayang Buna?" Tanya Nathan pada Ajiel.

Ajiel menggeleng, dia semakin mendekat kemudian memeluk kaki Buna nya. Tangisannya semakin menjadi saja. Nathan tentu tak tega tapi hatinya masih berdenyut sakit.

"Ajiel sayang Buna sama Ayah. Ajiel sayang kalian berdua!"

"Tapi dia bukan Ayah kamu." Nathan berujar datar. Ia berujar menatap lurus entah apa yang dia lihat. Yang jelas tatapannya kosong.

Si kecil menggeleng ribut saat perkataan tersebut dengan lancarnya keluar dari mulut yang setiap hari dia panggil 'Buna'. Tangan kecil itu berkali-kali memukul kaki Nathan untuk melampiaskan amarahnya terhadap sang Buna.

Tangan si kecil yang sedari tadi memukul kalinya itu Nathan tarik perlahan, ditatapnya wajah sang anak yang nampak begitu sendu. "Ajiel dengerin Buna..." Ibu jarinya mengusap dengan sayang lelehan air mata yang membasahi kedua pipi tembam itu, "yang kamu panggil dengan sebutan 'Ayah' itu orang jahat." Lanjutnya dengan penuh penekanan.

"AYAH BUKAN ORANG JAHAT!"

"AJIEL!"

Tanpa memperdulikan teriakan dari sang Buna, Ajiel kini berlari dengan sangat kencang menuju kamar. Pintu kayu tersebut dengan gampangnya dibanting tanpa takut jika nanti dia akan terkena amarah dari sang Buna lagi.

Ajiel tidak peduli, rasanya saat ini juga dia ingin lari ke luar rumah kemudian menghampiri dang Ayah.

Sedangkan Nathan hanya bisa menatap sendu pintu yang tertutup rapat tersebut. Tubuhnya menunduk lesu, jari-jemarinya dengan lihai membersihkan berbagai kekacauan yang telah ia lakukan beberapa saat lalu.

Air mata itu bahkan tak bisa berhenti mengalir, dadanya begitu sesak. Bagaimana bisa semua kekacauan ini datang? Tidak bisakah takdir membiarkan Nathan hidup bahagia?

Hai! 😇

FORGOTTEN [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang