Naret meringkuk di sofa dengan sisa tangisnya. Tin berada di samping alpha cantik itu dengan satu pelukan erat yang belum berubah sejak tadi. Punggung Naret bersandar di dada lebar milik Alpha muda tersebut.
"Aku punya satu teman omega yang sempat trauma dengan kekasihnya. Yang paling menyedihkan adalah dia kecewa pada ayahnya sendiri. Susah percaya pada alpha lain sampai akhirnya hidupnya terlalu rumit. "
Naret mendengarkan dengan baik. "Tapi aku bukan omega."
"Itu hanya sebagai contoh. " balas Tin cepat untuk membenarkan pemikiran Naret.
"Setelah berani melawan masa lalu dan membuka diri, dia menemukan kebahagiaan. Aku saksi hidupnya. " lanjut Tin.
Tiba-tiba Naret menggenggam tangan Tin yang melingkupi tubuhnya sedari tadi. Dia mengelus pelan di sana. Isak tangis alpha cantik itu kini tak lagi terdengar. Tin merasa lega karena ia sudah mendapat respon yang baik.
"Jadi, siapapun yang membuat mu kacau seperti ini jangan tinggal diam phi. Sebagai alpha, ambilah sikap yang lebih berani. Kau berhak bersedih tapi tidak untuk menyalahkan diri sendiri. "
"Aku tak bisa, " balas Naret pelan.
Tin menyandarkan wajahnya pada pundak Naret.
"Bisa, aku bisa merasakan kau pasti bisa phi. Hanya perlu mencoba, entah kenapa aku bisa merasakan bahwa dirimu yang asli bukanlah yang seperti itu. "
"Kau tidak mengenalku. "
"Memang, tapi mungkin pemikiranku pasti benar. Hanya kau yang belum sadar phi, "
"Tidak bocah, aku hanyalah alpha lemah, tak berguna, dan tak di inginkan. "
Tin terhenyak. Dia menarik tubuh Naret untuk menghadap padanya.
"Kau tahu phi? Demi apapun yang ada di alam semesta ini, kaulah yang paling aku inginkan. Lihat mataku, apakah terlihat jika aku berbohong? "
Naret mengunci tatapannya pada yang lebih muda. Beberapa saat dia memperhatikan di sana.
Entah mendapatkan keberanian darimana, Naret mulai mencondongkan tubuhnya, mengikis jarak antara mereka berdua. Wajah mereka saling berdekatan bahkan mungkin hanya tersisa satu senti saja. Dengan dada yang begitu berdebar tak karuan, Naret mulai menutup mata dan kedua bibir akhirnya bertemu.
Satu detik, dua detik, dari yang tadinya hanya mengecup lama-lama berubah menjadi lumatan. Lumatan yang terbilang masih lembut dan tak menuntut seolah kedua alpha itu saling menyalurkan kasih sayang satu sama lain.
Saat keduanya kehabisan oksigen, bibir keduanya mulai menjauh. Netra mereka masih terkunci, diam tak ada yang mengatakan satu patah katapun. Seolah netra keduanya lah yang berbicara satu sama lain.
Tak butuh lama, bibir yang saling merindukan kehangatan kembali bertemu. Kali ini sedikit menuntut dan berebut untuk saling mendominasi satu sama lain walapun pada akhirnya yang lebih tua lah yang terbaring ke belakang sedang yang lebih muda berada di atasnya.
Bibir, tangan serta seluruh tubuh keduanya bergerak sesuai naluri masing-masing. Naret membantu Tin membuka pakaiannya, ia membuangnya asal ke lantai. Menatap setiap otot-otot halus alpha muda itu dengan mata yang tak berkedip, kemudian wajahnya mendekat untuk menghirup aroma yang begitu ia rindukan sejak pertama kali mereka berciuman saat itu.
Tak mau kalah, Tin juga membantu Naret membuka pakaian nya. Kini, kedua alpha di mabuk hasrat membara itu sudah tak memakai satu helai benangpun di tubuh mereka masing-masing.
"Phi, yakin siap? " tanya Tin sedikit ragu pada yang lebih tua.
Naret terdiam, namun setelahnya ia mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence [ SUDAH TERBIT ]
Fanfic[ BOYS LOVE ] Pertemuan paling menyebalkan dua orang asing di Auckland membuat Artin dan Raven justru semakin dekat. Pertemuan tersebut menyebabkan kondisi Limerence Artin kembali mencuat. Ketika asmaraloka telah terjalin,keduanya menemukan sebuah f...