Aku membantu Ariri agar perasaanya bersambut terhadap Aditya. Aku tak berpikir rasional dan ingat gengsi. Ku kirimkan pesan ke nomor Ditya sehingga roomchat kami sekarang penuh dengan dialog.
Entah hati ini terasa senang, namun juga sesak. Bahagia aku Ariri dan Aditya bisa berjadi. Tapi aku sakit, Bagaimana dengan diriku?
"Aku sudah confes se jujur jujurnya, tapi belum ada jawaban, njir." Ariri bercerita, sebab dia sudah melancarkan aksi sesuai arahan Efta.
"Udahlah, gampang itu, mah. Kalau kamu udah confes, mudah buatku ndekati kalian."
Muka Ariri tampak terharu dibuat buat, "emcchh makasih ayank, kalau nggak ada kamu aku nggak tau gimana," katanya sembari menoel noel pipiku.
"Najis!" kataku.
"Sebenarnya aku tuh udah lama suka sama dia," kata Ariri melanjutkan cerita.
"Dari kapan?" Apa selama aku menyukai Ditya dari jaman kita masuk kelas?
"Dari MPLS awal, kita satu kelompok."
Ah, lebih dulu kamu, Ariri.
Aku terdiam dengan hati dan pikiran kemana mana. Pantas saja Ariri lebih dulu. Aku terlambat, dan sok sok-an bisa.
"Waktu itu rambutnya masih belah tengah, ganteng banget tau, Ef. Apalagi yang waktu satu kelompok bikin bucket itu, kayaknya, kalau pacaran sama dia tu asik Banget.
Aku masih mendengarkan.
"Ini, mau liat nggak fotonya."
Dia menyerahkan hp nya, menunjukkannya foto 5 siswa dan, ya, aku melihat Ditya disana, penampilan yang jauh berbeda dengan sekarang.
"Aku pingin banget jadian sama dia." Ariri penuh harap.
Aku tersenyum, "ku usahakan."
*****
Hari ini pelajaran DDG. Kami disuruh mencari macam macam warna seperti Primer, Tersier dll dari majalah untuk dibuat kolase.
Karna aku sudah selesai dari tadi, aku ber inisiatif menolong anak lain yang belum selesai. Dan rata rata anak anak cowo belum rampung, dan malah heboh sendiri sendiri.
"Ini punya ku Oy!"
"Gunting tadi mana?!!!"
"Ini ungu apa biru, sih?"
Mereka adu mulut, berisik. Apalagi mereka tidak membawa alat lengkap dan pas pas an, jadinya rebutan. Aku mendekati Arsya.
"Ini, Sya, Primer." kataku mengambil gambar panci, lalu menempelkan dikolase milik cowokitu.
"Makasih, Ef, tolongi kita kita, dong, Ef." Dia meminta, aku mengangguk.
Tiba tiba Ditya mendekat dan duduk disampingku.
"Ef, yang biru yang mana?" Dia menunjukkan gambar perabotan itu, tapi jarak kami begitu dekat. Jujur aku suka, aku suka jantungku yang dimanja debar suka dekat Aditya.
Tapi semua bukan seperti dulukala. Ariri suka Aditya, dan aku tak mau menyakiti perasaan Ariri jika aku kedapatan dekat dengan Aditya.
Lalu aku menggeser sedikit, menunjukkan warna yang benar. Dia berterimakasih dan tersenyum. Parahnya, anak cowok yang lain, yang nakal, pada mendekat ke arahku minta pertolongan, ah menyesal
Anak yang lain belum selesai, jadi mereka tak perduli tidak saling membantu. Aku bukan sok kebaikan atau bagaiman, tapi, jika kalian sangat tidak tahu dan tak ada yang menolong apa perasaan mu akan enak?
Aku cuma ingin berusaha jadi pribadi yang dikenal baik, eh tapi malah kadang di ejek oleh teman teman ku.
"Waduh Efta anaknya banyak, ya," kata Tia saat melihatku di kelilingi laki laki. Aku memberinya jari tengah dan dia tertawa.
Mataku menoleh ke kanan, melihat Aditya sedang sibuk sendiri, aku ber inisiatif mendekatinya.
"Dit, bisa?"
"Susah, nih, Ef. Bantu bentar."
Aku pun duduk disampingnya, tapi entah kenapa, Ditya ini sangat suka sekali mepet mepet. Bahunya dan bahu ku bersentuhan. Untung anak yang lain sibuk, jadi kami tidak tersorot.
"Dit," panggilku disela kegiatan.
"Hm?"
"Kamu terima Ariri?" kataku pelan, dan Ditya langsung berhenti bergerak. Dia menoleh, menatap ku sepenuhnya.
"Kamu tau?"
"Dia cerita."
"Oh."
Aku tak suka dengan respon yang kurang memuaskan.
"Jadi gimana Dit?"
Dia tampak menghela nafas. "Gimana, ya, Ef. Aku tu sungkan pacaran sama satu kelas. Aku takut di ejekin terus, aku malu," katanya pelan, dan kembali melakukan kegiatan.
Aku mengangguk, begitu alasannya.
"Tapi, kamu ke Ariri gimana, kan kita udah lama satu kelas. Apa kamu udah punya pacar?"
"Enggak, aku nggak tau gimana aku sama Ariri, nanti aku pikirin deh." Dia pun membuka lem, tapi sayang, karna terlalu kuat membuka, lem itu tumpah kemana mana. Dan jariku jadi korban.
"Awh!" Aku berteriak, lem itu rasanya panas. Saat ku lihat merk nya, pantas saja.
Gila pula Ditya malah membawa lem cair, bukan lem kertas.
"Yah..., Dit, nggak bisa dibuka tanganku, nempel," keluhku, selain rasanya panas, tanganku tak bisa ku buka. Cukup banyak lem itu tumpah.
"Aduhh, gimana ya, ayo ayo keluar dulu." Ditya panik, cowok itu gelisah lalu cepat cepat membawaku, menggandeng tanganku keluar kelas.
Aku menoleh sekilas kebelakang dan benar. Atensi sudah sepenuhnya milik kami. Bahkan Ariri juga menatap kami. Aku kebingungan.
Ditya membawaku ke keran samping kelas. Dia telaten memutar keran, lalu menggulung lengan bajunya dan lengan bajuku.
"Sorry banget, ya, Ef," katanya penuh sesal. Sembari mencuci tanganku dan berusaha menggosok agar lem itu terlepas.
Aku? Tak tau lagi bagaimana.
Diam memperhatikan, bagaimana suara air mengalir, dan ketika tangannya dan tanganku saling menggenggam. Seluruhnya membeku. Aku abadikan dulu.
Bersambung
Riesa, 29 Januari 2024
Dikasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
di ini Januari | Jaelice
Teen Fiction"Kan katanya kalau suka sama orang harus siap jadi asing." inspirasi by song: Januari-Pidi Baiq Cerita pendek.