5. Menjadi jawab.

51 11 0
                                    

Hampir 2 Minggu setelah rencana aku menjadikan Ariri dan Ditya. Tapi belum. Belum ada kemajuan.

Tapi, ku perhatikan akhir akhir ini Aditya juga seperti memperhatikan Ariri, aku juga tak buta karena tiap menit dan detik, aku selalu curi curi pandang ke bangku Aditya dan selalu mendapati Ariri dan Ditya saling tersenyum. Apa mereka sudah jadian? Apa yang disembunyikan?

Jam kos. Cay hari ini tidak masuk. Aku duduk dan disampingku ada Aditya. Dia duduk disampingku karna Selen sedang keluar.

Kenapa jantungku berdebar debar. Aku mulai tak suka. Seperti aku begitu murahan mudah baper hanya karna dia berada didekatku, padahal maksudnya ia ingin mengobrol dengan Ian yang memang duduk dibelakangku.

"Pap dulu, kita kirim Cay," kata Aditya. Tanganya terangkat tinggi dengan handphone kamera menyala. Aku ikut berpose iseng iseng.

Memang aslinya kami ber 4 lagi mengobrol. Tiba tiba Arsya lari, dan hanya ada Ian, aku, Aditya.

"Aditya, udah ditembak belum si Ariri?"

"Ah kamu," dia seperti mengalih.

Ian tersenyum senyum, aku tau, Ian juga sudah tau, mangkanya aku berani berbicara seperti itu. Mungkin dengan bantuan Ian yang memang jadi teman dekat Aditya disekolah, akan bisa memperlancar rencana.

"Entah si Ditya ini, dia bilang ke aku, dia suka Ariri." Ian tertawa jahil.

Sudah kuduga.

Aditya boleh cuek, boleh tidak memberikan respon apa apa. Tapi laki laki itu seperti ada warna yang mengakui bahwa ia juga sebenarnya suka dengan Airi juga. Orang orang pandai berlakon. Aku juara 1 nya.

Hahahahaha

"Apa, sih, Yan! Enggak, kok." Dia masih saja mengelak.

Aku jengah dengan semuanya.

"Udah lama, loh, Dit. Kalo suka jedor aja cepet, jangan dibikin ribet. Nanti nyesel, Ariri udah lama suka sama kamu. Dia pingin sama kamu, katanya kalau sama kamu pasti senang."

Setelah aku berkata seperti itu, dia tampak berpikir. Tapi lagi lagi hanya senyuman yang ia beri.

Entahlah, Aditya ini sangat suka sekali tersenyum, dan senyumannya itu menawan.

"Iya, Dit. Nggak akan ada yang ngatain, kok. Gw jontos ntar orangnya."

Kami tertawa, Ian Ian.

"Jangan kamu berani bilang ke aku doang. Udah lama dia, Ef, suka sama Ariri, jujur aja aku, deh." Ian menambah. Aku semakin semangat mengkompori.

"Menurut kamu, Airi gimana?" tanyaku.

Ditya memutar arah, jadi kearah depan, menatap Ariri yang sedang melawak bersama Gini. Bagaimana gadis itu membuat orang terbahak bahak. Memukau.

"Dia itu imut. Sumpah, imut banget, lucu, berisik." Ditya tersenyum, lalu menoleh kearahku. Tiba tiba dia salting. Menutup wajah tiba tiba. Sontak Ian bersorak gembira.

Aku pun.

Tapi kali ini, senyum Ditya menjadi menyakitkan. Ditambah aku harus ikut berdendang tawa menutupi kecewa di hati.

Pujaan hati, hilang lagi.

****

"SERIUS DIA BILANG BEGITU?!"

Aku langsung menutup mulut toa Ariri. Gadis itu kepalang gembira sehingga suara tidak dikondisikan. Senang boleh, tapi aku malu. Ya walau kelas sedang sepi, Ditya juga tak ada mangkanya kami berani membicarakan anak itu.

di ini Januari | JaeliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang