Prolog - Terbangun
Silau.
Roshan dari sang Surya yang menembus gorden jendela putih dikamar tersebut membuat sosok remaja laki-laki yang semula sedang tertidur menggeliat tak nyaman dalam lelapnya. Hancur sudah mimpi indahnya, yaitu bermandikan uang dolar dalam bathtub besar.
"Hoam...."
Ia menguap lebar. Remaja laki-laki itu masih terbaring di atas kasur dengan posisi terlentang. Sedangkan selimut, sudah tergeletak tak berdaya di atas dinginnya lantai marmer.
Remaja itu terduduk dipinggir kasur masih dengan terkantuk-kantuk. Ia menguap lagi, tapi yang berbeda mulutnya tertutup oleh tangan kanannya. Sudut netranya mengeluarkan sedikit air mata karena rasa kantuk yang masih mendera.
Muka bantal begitu kentara di wajah dengan pahatan sempurna miliknya. Surai perak yang acak-acakan, piyama tidur berwarna biru langit juga masih melekat ditubuhnya, serta kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.
Setelah beberapa menit—tepatnya tiga menit, remaja laki-laki itu bangkit. Tungkai pendeknya ia langkahkan dengan lunglai ke arah pintu kayu berwarna putih. Pintu itu adalah kamar mandi, warna yang sangat cocok dengan tema kamar tersebut.
Ia lalu masuk ke dalam kamar mandi. Pintu ia lagi kunci dari dalam. Remaja itu pergi ke arah wastafel. Kedua tangannya bertumpu, menatap rumit sosok di pantulan cermin wastafel yang terpampang jelas dihadapan dirinya.
"Hah...."
Ia menghela nafas pelan. Surai nya yang acak-acakan, ia acak lagi sampai berantakan total. Tapi walau penampilannya terlihat kacau, kesan sempurna masih melekat pada dirinya.
"Aku masih tidak terbiasa...." Ia bersedekap tangan seraya menopang dagu—menatap rumit sosok bersurai perak di pantulan cermin.
Berapa kali pun ia mengamati sosok di pantulan cermin, dirinya masih tetap tidak terbiasa. Surai perak, netra biru es, kulit putih bagaikan porselen, serta hidung yang terkesan mancung, namun mungil. Dirinya tidak terbiasa dengan raga kosong yang telah dimasuki oleh dirinya.
Sylvester Dimitri, nama dari raga tersebut. Sementara itu Ernest Lancer, nama dari sang jiwa asing yang masuk ke dalam raga dengan pahatan sempurna tersebut.
Ernest sendiri merupakan pemuda kuliah. Ia sebatang kara. Dirinya hanya tinggal di panti asuhan kala usianya menginjak usia tiga tahun, sementara untuk kehidupan sebelumnya dirinya tidak tahu tentang dirinya ataupun keluarganya. Dimana dirinya tinggal, siapa orang tuanya, dan bagaimana keluarganya.
Tapi satu yang Ernest yakini, dirinya adalah anak terbuang.
Hidup sendirian memang tidak menyenangkan. Harus merasakan manis pahitnya kehidupan seorang diri. Terus melangkah tanpa henti di roda kehidupan, serta selalu menelan pil pahit kala sebuah harapan pupus begitu saja tanpa adanya peringatan.
Sementara Sylvester Dimitri. Remaja ini menurut Ernest termasuk beruntung. Hanya kesadaran saja yang membuat Sylvester merasa hidupnya tidak beruntung sama sekali.
Sylvester lahir di dalam sebuah keluarga. Di rawat, di beri tunjangan, walau bukan kasih sayang dan perhatian. Tapi masih bisa untuk merasakan yang namanya kehidupan, daripada dirinya yang bahkan untuk makan saja Ernest masih harus menimang-nimang. Apakah dirinya akan makan atau tidak, karena uang masih dibutuhkan guna esok hari.
'Cklek
Dua puluh tiga menit lamanya Ernest merenung seraya membasuh mukanya agar kantuk yang menguasai lenyap sepenuhnya, dirinya keluar dari kamar mandi. Tungkainya ia langkahkan ke arah lain. Balkon kamar menjadi tujuan utamanya. Sandal rumah ia pakai. Lantai marmer yang menyatu dengan udara AC membuat dirinya merasa dingin.
'Wush
Terpaan angin lembut menerpa wajahnya dengan hangat. Mirip seperti sebuah sapaan siang hari dari dunia. Ernest menumpukkan kedua tangannya di pembatas balkon, ia menutup kedua netranya. Dirinya menikmati setiap detik dirinya ada di sini.
Sudah tiga hari Ernest di sini. Selama itu juga ia tidak keluar kamar sama sekali. Untuk makan akan ada seorang pelayan yang datang guna mengantarkan. Ernest agak tercengang. Makanan disini enak dan terlihat mewah. Apalagi kehidupan di sini nampak lebih terjamin daripada hidupnya dulu. Semua itu membuat Ernest, agak merasa terbuai dengan semua rayuan itu.
Tapi ada sesuatu yang mengganjalnya, yaitu Sylvester. Remaja itu sama sekali tidak menemui dirinya di alam bawah sadar. Ernest jadi bimbang, harus menerima atau tidak. Tapi, dirinya itu hanya manusia yang menjalani kehidupan berdasarkan skenario yang telah dibuat. Dibuat oleh yang namanya takdir.
Takdir tidak bisa diubah ataupun dibantah. Takdir adalah sesuatu yang harus dijalani.
"Cih, memuakkan." Ernest membuka kedua kelopak netranya. Ia menopang dagu—mengamati induk burung yang sedang memberi makan pada anak-anaknya di sarang yang tak jauh dari dirinya.
Ernest tewas karena tertabrak truk pengangkut batu bata kala dirinya pulang dari kuliah dan sedang menuju rumah. Sementara Sylvester, obat-obatan yang ada di dalam tong sampah sekarang ini telah menjelaskan semuanya.
Menyebalkan rasanya. Mati di tabrak truk, bahkan saat dirinya sedang menjomblo. Padahal Ernest tidak pernah merasakan yang namanya berkasih. Dirinya terlalu fokus pada kehidupannya soalnya.
Ernest ingin sekali merutuki remaja itu, tapi dirinya tidak bisa. Di satu sisi dirinya tidak terima, di satu sisi lagi dirinya ingin. Yang menyebabkan Ernest harus menjalani lagi yang namanya roda kehidupan yang berputar dengan lambat.
Menyesal pun tidak ada gunanya.
Ernest tahu diri, bahwasanya dirinya masih seorang manusia. Ia meraup wajahnya kasar, merasa sangat jengkel dengan yang namanya roda kehidupan. Setelahnya Ernest tertawa sumbang seraya mendongak ke arah sang Jumantara yang masih berdiri dengan gagahnya di atas sana.
"Baiklah, mari jalani semua kesialan ini...."
Kesialan yang pastinya akan membuat dirinya merasa teramat terbuai dalam sebuah kenyamanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sylvester [Tamat]
FanfictionKisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu bata saat dirinya sedang mengendarai mobilnya menuju rumah kecil miliknya. Kala Ernest mengharap kema...