-*.✧01 - Makan Siang✧.*-

38.3K 2.7K 19
                                    

01 - Makan Siang

'Tok-tok

"Tuan muda, sudah waktunya untuk makan makan siang," ucap seorang pelayan wanita di balik pintu kamar.

Sylvester yang masih berada di balkon menoleh, ia mengiyakan dan menyuruh sang pelayan untuk pergi terlebih dahulu.

Sylvester ingin menetap sebentar, dirinya masih betah di sini, tapi ya sudahlah. Akhirnya dengan berat hati Sylvester pergi melangkah keluar dari kamarnya. Melangkah menuju lift untuk ke lantai dasar, walau agak risih ketika beberapa orang yang dirinya lalui menatap lekat dirinya.

Bagaimana tidak? Semua pelayan di mansion sangat tahu penampilan anak bungsu keluarga ini. Yaitu berkacamata bulat, kutu buku dan tidak menarik. Tapi, mereka sekarang melihat sang bungsu telah memiliki penampilan yang sangat berbeda dari dulu. Segar, tampan, dan imut. Perubahan drastis menurut para pelayan.

Ketika sudah sampai di ruang makan, Sylvester menatap sebentar wajah-wajah asing di penglihatannya. Datar dan membosankan.

Seorang pria yang duduk di kursi kepala keluarga terlihat menatap dirinya lekat. Sedangkan dua orang pria lainnya juga menatap lekat dirinya. Tak dipungkiri Sylvester sangat risih, tapi lagi-lagi dirinya memilih acuh dan duduk di kursi dekat kepala keluarga.

"Makan." Sang kepala keluarga menginterupsi, kegiatan makan siang di mulai. Makan siang berlangsung tenang, sesuai dengan tata krama meja makan. Setelah beberapa saat, makan siang berakhir.

Setelah makanan utama. Dihidangkan lagi makanan penutup, yaitu puding bluberi. Sylvester dengan hati yang berbunga-bunga menyantap senang puding itu. Semburat merah di pipinya terlukis ketika merasakan rasa lumer dari puding tersebut.

Tiga orang pria lainnya tidak memakan makanan penutup. Mereka malah curi-curi pandang ke arah dirinya, tapi dirinya memilih untuk mengacuhkannya dan memfokuskan diri pada puding. Tiba-tiba saja sang kepala keluarga memanggil dirinya;

"Sylvester," panggilnya. Sylvester menelan puding terlebih dahulu. Ia lalu hendak menjawab, karena tidak baik berucap saat makan.

"Ya?" Dirinya menatap tenang kedua netra merah kelam sang kepala keluarga. Sylvester hanya menatap balik secara tenang. Agak terintimidasi, kala kedua netra merah pria itu seakan menunjukkan betapa dominan dirinya.

"Sepuluh menit lagi, datanglah ke ruang kerjaku," titah sang kepala keluarga singkat. I beranjak, diikuti oleh kedua pria lainnya yang hendak menunju kamarnya masing-masing.

"Baik," ucap Sylvester sebelum mereka bertiga beranjak pergi. Sylvester hanya mengangkat bahu acuh dan melanjutkan memakan pudingnya.

.*✧-Sylvester-✧*.


"Om, ruang kerja ayah mana?" tanya Sylvester kepada pria yang memakai pakaian serba hitam. Pria itu berdiri tegak di sudut ruangan.

"Ruang kerja tuan Damien ada di sebelah sana," tunjuk pria itu ke arah pintu coklat tua ganda di ujung lorong lantai dua. Sylvester mengucapkan terimakasih, ia berjalan santai ke arah sana.

'Jadi namanya Damien toh,' monolog Sylvester dalam hati. Ia mengetuk pintu, sebuah suara bariton segera menyahut dari dalam ruang kerja. Dirinya masuk. Kedua netra biru esnya melihat langsung Damien yang duduk angkuh di kursi kebanggaannya.

"Semua fasilitas mu ayah berikan kembali," ucap datar Damien. Pria itu mendorong ponsel dengan apel tergigit di atas mejanya ke arah Sylvester. Sylvester mengambil ponsel itu, dirinya mengamati sebentar lalu mengangguk mengerti.

"Baik."

Damien mengangguk. Ia mengkode Sylvester untuk keluar dari ruang kerjanya. Sylvester mencebik dalam batin, dirinya hanya bisa mengiyakan dan pergi keluar dari ruang kerja.

'Udah segini aja?'

Dalam batin Sylvester merasa kesal. Padahal dirinya mengharapkan beberapa informasi yang akan dirinya dapat ketika datang ke ruang kerja Damien, tapi tidak ada informasi yang dirinya dapat.

'Huh....'

-✿✿✿-

Lain lagi di dalam ruang kerja Damien. Pria dengan buntut tiga itu asik menghisap dalam cerutunya. Ia menyenderkan punggungnya, serta memejamkan kelopak netranya. Posisinya di kursi kebanggaannya terlihat santai, tapi sebenarnya pikirannya sedang berkecamuk.

Damien bangkit, setelah ia meletakkan cerutunya di asbak. Dasinya sedikit kendur, kancing kemeja paling atas sengaja ia lepas. Netra merahnya menatap rumit-menatap ke arah pemandangan di luar jendela.

Dari atas sini-tepatnya lantai dua-terpampang jelas pemandangan cantik taman. Taman yang sangat dirinya tahu milik siapa dan dirawat oleh siapa, hingga menjadi cantik dan indah.

Taman bunga Lily yang dulunya dirawat oleh Selentia Everlyn-sang istri-yang telah pergi jauh, dan tidak bisa dirinya gapai kecuali saat dirinya mati.

Damien adalah sosok yang kejam. Dirinya juga seorang otoriter dengan julukan tiran miliknya. Dan Selentia, adalah seorang wanita yang mampu membuat sang tiran Damien, menekuk lutut di hadapannya.

Selentia adalah wanita yang lembut, hatinya selalu tulus. Tidak peduli orang yang dirinya tulusi adalah seorang penjahat sekalipun. Bagi Damien, Selentia adalah bunganya. Bunga yang akan selalu mekar di dalam hatinya.

Tapi, kejadian empat belas tahun lalu telah berhasil membuat bunganya layu dan mati.

Selentia tewas tertembak di bagian kepala oleh musuhnya. Musuh yang notabenenya dulu adalah seorang asisten kepercayaan dirinya. Damien masih ingat dengan sangat jelas, ketika dirinya membawa tubuh sang istri yang bersimbah darah ke dalam dekapannya. Saat itu adalah awal dari kehampaan hidupnya.

Si bunga cantik telah layu juga mati. Meninggalkan kupu-kupu yang bersedih hati.

Damien berhenti mengamati taman. Kedua tungkai panjangnya ia langkahkan ke arah sebuah ruang, yang di mana terdapat keamanan ketat berada.

Ruangan tersebut di penuhi oleh karya seni, lebih banyaknya foto berukuran besar yang terpajang apik di kokohnya dinding putih. Ditambah lagi ruangan ini lebih tampak seperti lorong luas. Damien melangkah masuk setelah ia mengangguk saat kedua anak buahnya mengucap hormat padanya.

'Tap

Sepatu pantofel nya berhenti bersuara ketika dihadapannya dua buah foto berukuran sangat besar terpajang di sana. Foto yang di baluti kaca juga hiasan di pinggirannya itu membuat hati Damien merasa terenyuh, antara sesak dan sendu.

Foto itu adalah foto sang istri. Selentia tertawa lebar, netra biru esnya juga ikut menyipit. Rona di wajahnya terlihat jelas. Foto itu diambil ketika Selentia berada di taman, buket bunga lily juga ada di dekapannya.

Netra merah Damien beralih lagi ke sebelah foto sang istri. Itu foto putra bungsunya. Sylvester Dimitri adalah nama yang Selentia berikan, sesaat sebelum kelopak netranya menutup untuk selamanya.

Dirinya juga masih teringat, ketika jari telunjuknya di genggam hangat oleh sang putra bungsu. Perasaan yang membuncah menenggelamkan hatinya saat itu. Tapi kegelapan menyelimuti netranya.

Sylvester berbeda. Sylvester selalu menundukkan kepalanya saat keluarganya di didik untuk menundukkan kepala orang lain. Sylvester lemah. Ia selalu mengurung dirinya di kamar, berpenampilan tidak menarik juga penakut. Naif juga lemah.

Tapi apa yang dilihatnya tadi?

Sylvester-putra bungsunya-mengangkat angkuh dagunya. Sorot netra yang tajam juga tidak ingin di bantah. Dimana kacamata bulat dan tebal miliknya?. Yang dirinya lihat hanyalah wajah segar miliknya.

Sylvester benar-benar meng-copy mendiang sang istri. Surai perak, netra biru es, kulit putih seputih porselen. Sebuah copyan paling sempurna sang istri.

Sangat berbeda dengan dirinya serta kedua putra, tak terkecuali juga dengan seluruh keluarganya. Yang bersurai hitam pekat juga ber netra semerah darah. Proporsi tubuh tegap dan tinggi, juga rahang yang tegas.

Perasaan asing bergemuruh di dalam hatinya.

"Hah...." Menghela nafas pelan, akhirnya Damien memilih untuk kembali ke ruang kerjanya, melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi.

✿✿✿Bersambung....

Sylvester [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang