-*⁠.⁠✧05 - Kak Vier✧.*-

30.1K 2.1K 23
                                    

05 - Kak Vier

Makan malam telah berakhir, semua anggota anggota keluarga berkumpul di ruang tengah. Begitu halnya dengan Sylvester. Anak itu duduk di atas karpet lembut berbulu seraya memeluk bantal kotak dan menonton film dari layar televisi. Yang lain, sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Sebentar lagi kakakmu pasti akan ke sini," ujar Fransisco memecah keheningan suara. Ia menyeruput kopi, duduk angkuh di single sofa dengan air muka tenang.

Damien meletakkan iPad yang tadi di genggaman dirinya. "Theodore?"

"Hm." Fransisco hanya berdehem singkat karena dirinya masih menyeruput kopi. Tapi lirikan netranya masih melirik minat ke arah sang cucu bungsunya.

Fransisco langsung terbang ke negara ini dikarenakan berita tentang si bungsu Damien memasuki indra pendengarannya. Dirinya merasa tertarik. Melihat cucu yang benar-benar berubah total, membuat dirinya sangat tertarik. Apalagi....

Pokoknya, Sylvester adalah minatnya.

'Hm... Aku merasa merinding.'

Mengusap tengkuk, Sylvester merasa dirinya meremang sejenak tadi. Tapi, mungkin hanya perasaan dan melanjutkan lagi fokusnya pada layar televisi.

—*.✧Sylvester✧.*—

Sang penerang bumi telah tiba, walau masih malu-malu untuk menampakkan diri. Sahutan dari melodi kicauan burung masih membujuk sang penerang tersebut guna menampakkan diri secara utuh.

Sylvester adalah tipe bangun pagi. Itu yang terjadi jika tidurnya tidak nyenyak.

Seragam sudah melekat apik di tubuhnya, membungkus seluruh kulit tanpa cacat dirinya dengan beberapa pengecualian. Ernest akui. Tubuh dan wajah ini sempurna. Layak di beri banyak pujaan dan pujian.

Sylvester menyemprotkan parfum. Aroma manis dan segar, sesuai selera miliknya. Ia memasukkan buku pelajaran sesuai hari.

"Hm? Kenapa?" tanya Sylvester tanpa mengalihkan atensi pada buku-buku di tangannya. Sosok pemuda jangkung itu tidak menjawab setelah seperkian detik, tapi netranya mengikuti gerakan tangan Sylvester.

"Sarapan," jawabnya setelah mengalihkan pandanganya ke arah jendela.

"Tahu." Sylvester bangkit. Ransel sudah tertutup, ia menyampirkan nya di pundak kirinya. Tungkainya menghampiri Eleander yang masih berdiri di ambang pintu.

Eleander mulai melangkah. Walau sedikit kesulitan karena dirinya harus memelankan laju langkahnya untuk seimbang dengan kaki pendek di samping kanannya.

"Syl, nanti berangkat bersama kakak," ujar Eleander di sela-sela langkahnya. Sylvester hanya berdehem panjang sebagai jawaban, dirinya merasa kesal karena panggilan feminim itu terdengar lagi di indra pendengarannya.

Sylvester hanya bisa melirik garang ke arah punggung tegap yang sekarang sudah mendahuluinya. Memang ada rasa ingin menjambak surai hitam legam itu, tapi dilihat dari perbedaan tingginya saja Sylvester sudah menyerah. Dasar tiang listrik.

"Bagaimana tidurmu?" tanya sekaligus elus Fransisco kala sang cucu telah duduk di dekatnya. Ia pandang lembut Sylvester.

"Nyenyak grandpa. Kalau grandpa sendiri?"

Keduanya mengobrol ringan bersama. Sesekali cekikikan karena cerita lucu dari Fransisco. Damien, Eleander, Danielo menyimak.

'Aku merasa kesal. Dasar kakek tua bau tanah.'

Sylvester [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang