9| The New Chapter

772 98 21
                                    

Kepulan asap rokok mengudara di atas rooftop sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kepulan asap rokok mengudara di atas rooftop sekolah. Menciptakan nuansa yang suram karena cuaca siang ini mendung gelap. Sangat pas jika menjadi background video klip lagu galau.

Batang rokok yang sudah tinggal setengah dari ukuran awal tersebut dibuang ke lantai semen yang sudah banyak retak karena bangunan sekolah ini terhitung sudah sangat lama dibangun. Sempat dipijak beberapa kali agar apinya benar-benar padam sebelum ia memilih untuk turun ke kelas.

Ia juga memakan permen karet untuk menghilangkan aroma nikotin dari mulutnya.

Saat tiba di tangga terakhir, langkahnya terhenti ketika manik hitam legam miliknya melihat wanita yang sudah lama tidak ia ajak bicara itu keluar dari kamar mandi. Tanpa memperdulikan kanan kirinya, gadis tersebut berlalu seperti angin lewat. Netranya masih terfokus pada punggung yang sudah hampir masuk kelas.

"Agam, ngapain you disitu? Mau kabur ya dari pelajaran ai?" tanya Pak Darmawan.

Agam menatap Pak Darmawan. "Astaghfirullahaladzim, Bapak ini solimi.. orang ini saya mau masuk kelas kok, Pak."

Tatapan tak percaya tersebut masih tertuju ke arahnya. Kemudian Pak Darmawan melambaikan tangan memanggilnya. "Ini tolong sekalian, bawain buku ai." Pak Darmawan menyerahkan bawaannya kepada Agam. "Ai ke kamar mandi sebentar." katanya.

"Ah bohong, pasti Bapak mau mangkir dari jadwal ngajar, kan? Ngaku aja lah, Pak. Bapak kan pernah muda kayak saya."

Demi Tuhan, mulut milik Agam Pradana tidak pernah mengenal kata filter. Bahkan sama seorang guru pun dia berani melempari candaan mautnya.

"Sembarangan. Sudah sana masuk kelas."

Agam terkikik geli melihat pria paruh baya bertubuh gempal dengan kepala plontos itu berlari kecil menuju kamar mandi. Setibanya di kelas tatapannya bertubrukan dengan tatapan Kaila, hanya dalam hitungan detik tatapan tersebut diputus oleh Agam.

Kaila merasa de javu. Menundukkan kepala, ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Menuliskan sebuah kalimat di buku kecilnya, dengan pembuka dear diary...

Perempuan ini terbiasa menjadi pendengar, namun ia juga manusia biasa yang ingin di dengar. Akan tetapi, sulitnya membuka diri kepada orang sekitar, membuat Kaila memilih untuk selalu teratur menumpahkan perasaannya di dalam sebuah diary harian yang selalu rutin ia buat.

Baginya ini adalah cara terbaik agar suaranya bisa terdengar, agar batinnya tidak begitu terasa sesak, agar harinya bisa terus berjalan maju, agar kepalanya tidak selalu dipenuhi opini-opini tak berlandas.

The Apple of My EyeWhere stories live. Discover now