Kepulan asap terlihat di atas cangkir berisi cokelat hangat.
Sesuai janji tadi pagi. Agam menepatinya, bahkan datang lebih dulu dari perkiraan Kaila. Berhubung masih punya waktu lebih, mereka memilih untuk mengganjal perut sebelum benar-benar ke bandara.
"Mobil siapa yang lo pake?" tanya Kaila sambil melirik keluar jendela. Tepatnya ke arah mobil yang mereka gunakan hari ini.
"Adalah, kepo bener."
"Bukan mobil curian, kan?"
Agam menatap sangsi. "Yang bener aja dong Kai kalo ngomong. Itu mobil punya temen gue."
Kaila berusaha untuk menahan tarikan garis bibirnya kala mendapati raut tidak terima dari pemuda yang ada di hadapannya. "Siapa?" tanyanya lagi.
"Mobilnya Hanif. Puas, hm?"
Gadis tersebut tampak mencoba mengingat sesuatu sebelum akhirnya berohria. "Oh, si Hanif temen semeja lo dulu? Dia di sini juga?"
Agam mengangguk pelan. "Tamat SMA langsung terbang kesini, kuliah di sini, bahkan nikah pun di sini."
"Sumpah dia udah nikah?" kaget Kaila.
Melihat respon Kaila membuat Agam terkekeh. "Kaget bener muka lo. Iya, dia nikah setahun yang lalu sama temen satu kampus. Tu anak keliatannya aja kayak orang susah. Padahal mah bapaknya konglomerat."
Di tempatnya Kaila dibuat terperangah oleh cerita dari Agam. Tidak menyangka jika laki-laki yang perawakannya seperti anak tidak diurus itu ternyata memiliki latar belakang yang justru bikin dompet bergetar tak karuan.
Tiba-tiba saja tangan laki-laki di depannya tergerak. Menyodorkan sepucuk surat yang terbungkus rapi oleh amplop berwarna merah marun. Menghentikan kegiatan Kaila yang sedang menikmati rotinya.
"Bukanya nanti kalo udah di pesawat. Atau kalo udah sampe apartemen." ucap Agam. Hari ini dirinya dibalut oleh pakaian serba hitam. Penampilannya mungkin terlihat sederhana, tapi nyatanya tidak se-sederhana itu. Entah kenapa siang ini Agam terlihat seperti pria well done. Bukan medium well lagi.
Rambut yang ditata rapi. Kemeja hitam polos dengan lengan tergulung rapi hingga ke siku. Jeans hitam. Juga sneakers hitam. Begitu juga dengan Kaila. Blouse hitam, cutbray hitam, dan heels hitam menjadi sandang yang menutup dirinya.
Lagi. Mereka memakai pakaian senada. Kebetulan yang tidak pernah terlintas akan terjadi dalam waktu dekat. Gadis itu menyempatkan untuk meminum cokelat hangat. Membenarkan posisi duduk. Mengambil surat tersebut. Diamatinya sebentar sebelum mendongak, menatap laki-laki yang kini juga sedang menatapnya.
YOU ARE READING
The Apple of My Eye
RomansaIt's not about who comes first. It's who will always stay there to the end. It's not about who's making a bigger effort. But, who would remain in that corner of the room without effort. It's about something or someone loving each other above all els...