19. terungkap

6.6K 640 34
                                    


BAB 19.

 

 

Sesampainya di rumah sakit, Al turun dengan mudah dan berjalan seperti biasa melewati koridor rumah sakit.

Ia berjalan di samping tuan Javas yang tanpa gangguan apapun. Rumah sakit yang ia datangi adalah milik Javas sendiri.

Sepanjang perjalanan banyak pasang mata yang menatapnya penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran.

Bagaimana tidak, lihatlah ia yang sudah seperti zombi yang berkeliaran kemana-mana.

Javas sendiri juga menatap Al dengan khawatir, namun orang yang di khawatirkan justru seperti tidak merasakan sakit sama sekali.

Di depan ruang IGD terdapat banyak sekali orang yang sedang menunggu, tidak ada suara. Namun setelah Al datang, mereka semua berteriak histeris karena Al dengan santainya menyobek lengan bajunya dengan tangan kosongnya.

Semua dokter yang ada di dalam terganggu dengan suara teriakan semua orang, mereka keluar dan betapa terkejutnya saat melihat pemuda yang berdiri di depan pintu dengan darah yang sudah menetes ke lantai.

Javas sendiri terganggu sebentar, Tiba-tiba otak pintarnya itu ngeblank seketika.

Ia memang seorang yang bisa di kenal dengan kekejamannya terhadap musuh, namun Ia belum pernah melihat orang yang begitu santainya menyerahkan diri ke rumah sakit dalam keadaan seperti zombi itu.

“Apa yang kamu lakukan” Tanyanya dingin pada Al, apakah pemuda di depannya itu sudah gila.

Tsk

Arkh...

Semua orang terpekik takut menatap Al. Tak terkecuali para dokter yang menyaksikan semuanya.

“Apa? Saya hanya membantu dokter mengangkat beling ini” dengan gampang Al mencabut sebuah beling yang tertancap di lengan tangannya, darah yang semula berhenti kini kembali menetes dengan deras.

“Apakah kau tidak merasa sakit” Tanya NARENDRA ZAVIER GANENDRA, anak ke dua Javas sekaligus dokter yang mengurus rumah sakit itu.

“Tidak” jawab Al acuh.

Zavier  mencoba memahami situasi, Ia menatap tangan Al dan wajah Al secara bergantian.

Setelah mencerna semuanya, Ia mulai mendekatkan dirinya dan menekan kuat tepat pada luka Al.

Semua yang ada di sana kembali berteriak histeris, terkejut dengan pemandangan di depannya.

Bugh

“Apa yang lo lakukan brengsek”

Satu pukulan mendarat tepat pada wajah tampan dokter , Ia tersungkur ke belakang menatap orang yang baru saja memukulnya.

Kavi, pemuda itu tiba-tiba datang dan langsung menghajar Zavier setelah melihat tangan Al yang di tekan kuat.

“Kavi, kita tunggu penjelasannya dulu. Kamu tahu kan kakakmu itu tidak akan melakukan sesuatu tanpa sebab” cegah Javas memegang tangan anak bungsunya itu yang hendak kembali memukul abangnya.

“Bajingan, apa yang lo lakuin ke adek gw hah!” teriak Kavi marah, kemudian Ia mengalihkan perhatiannya pada Al.

Mata yang tadinya tajam kini berubah menatap khawatir pada Al, bahkan mata anak itu sudah berkaca kaca melihat banyaknya darah yang berceceran mengotori lantai.

“Kamu gak papa kan Al”

“Gak” jawab Al seadanya, Ia masih bingung mendengar perkataan Kavi yang memanggilnya adek? Bahkan kedua kakak kandungnya tidak pernah menganggapnya seperti itu.

“Zavier obati dia sekarang juga, dan jelaskan semuanya jika sudah selesai” perintah Javas pada putra keduanya itu.

“Baik dad”

“Diimas siapkan kamar rawat sekarang juga” perintah Zavier pada rekannya.

“Ya? Apa kau tidak akan membawanya ke ruang UGD?” Tanya dokter Dimas bingung.

“Tidak, dia pasien kita mulai sekarang”

“Tidak perlu di rawat, cukup obati saja, saya masih melek urusan lainnya” tolak Al menatap dingin dokter Zavier.

“Tapi Al, kamu terluka parah” bujuk Kavi.

“Saya bilang tidak perlu” Jawabnya bertambah dingin, Ia menatap Kavi tidak suka.

Ia tidak suka di atur, masalah kesehatan? Ia tidak merasakan sakit jadi Ia tidak terlalu pusing terhadap itu. Masih banyak urusan yang harus Ia selesaikan.

Javas menganggukkan kepalanya memberi kode kepada anak keduanya itu, agar mengiyakan perkataan anak tersebut.

“Baiklah, sekarang kamu ikut saya” jawab Zavier pasrah dengan pasiennya kali ini, sungguh ini adalah perkiraannya bahwa pemuda di depannya itu mengidap Cipa.

Al mengikuti mereka dengan tenang, selama tidak di rawat Ia akan menurut, tapi tidak jika di rawat, jika perlu Ia akan kabur dari sana.

Al sudah berbaring di atas brangkarnya. Zavier mulai melakukan tugasnya, Ia membersihkan luka Al dengan antiseptik hingga bersih tanpa tersisa darah sekalipun, membuat luka memanjang yang terbuka itu terekspos sangat jelas.

Mereka semua para dokter termasuk Kavi dan Javas ada di sana, melihat cara pengobatan yang dilakukan untuk Al.

Melihat wajah Al yang tidak memiliki reaksi apapun, para dokter mulai berinteraksi dengan rekannya.

“Dia benar-benar tidak merasakan apapun?”

“Kurasa begitu, lihatlah wajahnya tidak ada ekspresi apapun selain datar”

Setelah membersihkan lukanya, dokter Zavier mulai mengambil alat seperti gunting kecil dan mulai memasukkan benang khusus untuk kulit pada luka Al.

“T tunggu dia tidak dalam pengaruh obat bius lokal” Ucap dokter Dimas takut menutup matanya.

“A apa yang terjadi? Ke kenapa dia tidak bereaksi sedikitpun” ujarnya kembali membuka matanya.

“apa yang kamu lakukan hingga mendapatkan luka seperti ini? Apa kau tidak takut jika kau akan mati?” tanya dokter Zavier masih fokus dengan kegiatannya.

“Tidak, lagi pula saya tidak merasakan sakit” Jawab Al datar.

“Al apa yang kamu katakan” Kavi, pemuda itu menatap Al dengan serius.

“Periksa apakah dia bisa merasakan suhu, lalu bersiaplah untuk memeriksa gejalanya, dan periksa gejala kedua karena analgesia dan anhidrosis dan anhidrosis” Ucap Zavier dianggurin rekannya.

“Dokter Zavier, itu tidak perlu” ucap dokter Dimas.

“Aku yakin itu”

“Peluangnya 0,0000001. Serta tidak ada banyak materi tentang itu,  tidak pernah ada di negara kita orang yang di diagnosis,,,” Ucapnya menggantung.

“Tidak, tunggu, kuarsa ada satu. Apa maksudmu?”

“Potong” perintahnya.

“Dia bisa di sayat, di jahit tanpa obat bius. Mengalami patah tulang dan pecah organ, tapi dia tetap tidak akan  merasa sakit. Itu ketidakpekaan bawaan terhadap rasa sakit dengan anhidrosis,,,, dia pasien CIPA, orang yang tidak merasakan sakit atau suhu” jelas dokter Zavier manatap lekat luka Al.
Sedangkan Al dia hanya diam menyimak apa yang mereka bicarakan.

Sekarang dia sudah tau, kenapa ia tidak bisa merasakan sakit ataupun tidak merasakan suhu apappun.

Bahkan angin yang akan berhembus menerpa wajahnya pun tidak dapat membuatnya merasa sejuk bahkan dingin, hidupnya benar-benar kosong tidak bisa merasakan suatu hal, bahkan dari hal kecil sekalipun.

















vote komen jangan lupa,
lanjoot? spam sebanyak banyaknya😉

Tanah Tandus || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang