Berat

888 88 4
                                    

"Kak Hali kecelakaan?!"

Taufan melompat dari sofa tempatnya duduk. Dia menatap tak percaya pada si pembawa informasi—Gempa—yang tengah berdiri di depannya. Gempa berdecak pelan, Taufan menganggap itu karena adik kembarnya tengah khawatir terhadap keadaan kakak mereka dan Taufan malah bermain game.

"Iya, tadi kata Bunda, Kak Hali jatuh dari tangga didorong temannya. Kakinya patah."

"Terus Kak Hali dimana sekarang?"

"Di rumah sakit, kak. Tadi dari pihak sekolah langsung nelpon ambulance karena katanya tulang Kak Hali sampai kelihatan."

Taufan bergidik, "Itu patahnya sampai kayak gimana? Terus temannya itu gimana?"

"Aku nggak tau, Ayah yang lagi ngurus itu. Ini aku mau ngajak Kak Taufan ke rumah sakit."

Taufan mengangguk. Dia menyuruh Gempa untuk segera bersiap. Di dalam benaknya dia berpikir jika dia tau siapa orang yang mendorong kakaknya, Taufan akan membalasnya 2 kali lebih sakit dari apa yang sudah dilakukan pada sang kakak.

...

"Bunda, Kak Hali gimana?"

Ibu mereka memberikan senyuman lembut untuk menenangkan mereka. Sang Ibu menjelaskan mengenai keadaan Halilintar secara rinci tanpa meninggalkan apapun. Mulai dari kondisi Halilintar saat dia datang di rumah sakit karena panggilan sekolah, penjelasan Dokter tentang jenis patah tulang yang dialami Halilintar, hingga tindakan untuk kasus tersebut.

"Karena itu, Bunda dan Ayah mungkin nggak bakal bisa ngurus kalian dengan baik beberapa hari ke depan."

"Tidak masalah, Bunda. Ada aku dan Kak Taufan untuk mengurus adik-adik yang lain. Saat ini Kak Hali lebih membutuhkan kalian dibanding kami."

"Benar! Bunda dan Ayah temani saja Kak Hali sampai boleh keluar dari rumah sakit, urusan adik-adik yang lain serahkan saja sama aku dan Gempa."

Taufan sangat percaya diri saat mengatakan hal itu pada sang Ibu. Dia tak menyadari implikasi dari apa yang harus ditanggungnya. Mereka masih berada di rumah sakit untuk menemani Ibu mereka menunggu di depan ruang operasi hingga Halilintar di bawah ke ruangan. Sayangnya mereka harus segera pulang karena keempat adik mereka pasti sudah ada di rumah saat ini. Padahal Taufan ingin menunggu hingga Halilintar sadar.

"Taufan." Sang Ibu memanggil.

Taufan melirik Ibunya lalu pada Gempa yang sudah keluar ruangan namun berhenti ketika mendengar panggilan tersebut. Gempa tersenyum dan mengatakan akan menunggu Taufan di parkiran.

"Kenapa Bunda?"

"Kak Hali kan lagi di rumah sakit, dan setelah Kak Hali, kamu yang tertua diantara adik-adikmu. Kamu bisa kan, jadi sulung selama Kak Hali di rumah sakit?"

Ada sebagian dari pikiran Taufan yang mengatakan dia tak dapat melakukannya. Namun mulut Taufan telah berkata lebih dahulu selagi otaknya memikirkan kalimat yang tepat untuk menggambarkan ketidakmampuannya.

"Sudah pasti, Bunda!"

Taufan sebenarnya ingin mengutuk dirinya sendiri, tetapi senyuman Ibunya juga usapan hangat di kepalanya mencegah Taufan untuk melakukan semua itu. Sang Ibu memberikan tepukan penyemangat di pundaknya lalu membiarkan Taufan menyusul Gempa yang sudah keluar terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan ke parkiran juga perjalanan menuju rumah mereka, Taufan terus memikirkan satu hal.

Bisakah dia menjadi sulung bagi adik-adiknya?

Halilintar mungkin tak pernah mengeluhkan beratnya menjadi anak pertama tetapi Taufan tau posisi anak pertama itu sangat berat. Haruskah dia mengatakan pada Ibunya jika Taufan tak bisa mengemban tugas tersebut?

Jangan!

Taufan harus membuktikan dirinya juga dapat diandalkan oleh adik-adiknya. Selama ini dia terlalu bergantung pada Halilintar, mungkin dengan ini dia bisa memahami beban Halilintar dan membantu kakaknya untuk memikul bebannya.

Maka dimulailah perjalanan Taufan sebagai sulung.



tbc~

Berat (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang