Jangan lupa vote dan follow sebelum membaca ya!
Comment your opinion about my story too <3
Happy reading everyone!
Author PoVJavier memasuki Morrison Cafe dengan mood yang sangat buruk. Beberapa pegawai yang berpapasan dengannya juga ragu untuk sekedar menyapanya. Kebanyakan dari mereka memang sungkan untuk berinteraksi dengan Javier yang dingin dan terkesan galak. Mereka selalu berkomunikasi dengan Sebastian tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan cafe.
Javier menghembuskan napas berat dan duduk di salah satu meja cafe, tempat biasanya ia duduk.
Semalam ia mabuk berat. Ia benar benar lupa apa yang sebenarnya terjadi dan bangun dengan sakit kepala hebat. Ia bahkan tidak tahu bagaimana ia bisa pulang. Lagi-lagi ia menyesal sudah minum terlalu banyak. Kemarin ia hanya berniat untuk mampir, minum untuk menghilangkan stress lalu pulang. Namun nyatanya ia minum melebihi kapasitasnya.
Seperti biasa, sebastian dengan senyum cerahnya melambaikan tangan kearah Javier. Javier mendengus malas. Ia lebih memilih mengeluarkan laptopnya dan menghiraukan sahabatnya itu. Sebastian menghampirinya dengan dua gelas teh panas ditangannya.
"Jangan pernah kau mabuk sendirian lagi! Kau terlihat sangat menyedihkan," ujar Sebastian dengan nada jenakanya. Ia menaruh satu gelas teh panas di atas meja untuk Javier, Javier meliriknya dan meminumnya tanpa berkata apa-apa, berniat untuk menghiraukan Sebastian dihadapannya.
"Jadi, kau ada masalah apa? Putus cinta? Tapi kau kan tidak punya pacar? Lalu apa? Kau tidak punya uang? Sedang merasa kesulitan untuk bersosialisasi? Kau kan punya aku, aku ini pendengar yang baik, aku juga bisa menemanimu minum." Sebastian terus berbicara ini itu dengan ekspresi yang benar benar beragam, membuat Javier makin kesal.
"Kau bisa diam? Aku sakit kepala mendengarmu," jawab Javier datar. Ia masih fokus pada laptopnya, menghiraukan Sebastian yang kesal karena tidak ditanggapi.
"Tidak tahu terimakasih, harusnya aku tinggal kau di pinggir jalan."
"Memangnya kau yang mengantarku pulang?" tanya Javier langsung, tiba-tiba tertarik dengan ucapan Sebastian.
"Kau pikir kau punya teman selain aku huh? Aku tanya, memangnya siapa lagi temanmu yang rela menjemputmu yang sedang mabuk, tengah malam lagi," jawab Sebastian terus menggerutu.
"Aku? Meneleponmu?" Tanya Javier sambil menunjuk dirinya dan menunjuk Sebastian dengan tatapan ragu.
Sebastian menarik napas kesal, ia menaruh gelasnya di atas meja dan menatap Javier serius. "Callia. Callia yang meneleponku karena dia menemukan seorang pria dewasa menyedihkan yang minum sendirian di tempatnya bekerja."
Javier diam, berusaha mengingat sesuatu tapi ia tidak ingat apapun. "Aku rasa itu tida-"
"Tidak mungkin apanya?! Callia yang meneleponku! Kau sangat mabuk sampai tidak bisa diajak bicara, dia tidak tega meninggalkanmu," Sebastian memotong ucapan Javier.
Lagi-lagi Javier diam, meruntuki kebodohannya tadi malam. Seharusnya dia minum di rumah saja, harusnya dia dalam keadaan sadar sepenuhnya saat berhadapan dengan Callia. Bagaimana kalau dia berkata yang tidak-tidak, atau bagaimana kalau dia melalukan hal aneh. Bolehkah dia jujur dengan tujuan utamanya datang ke bar itu? Alasan utamanya adalah ia ingin melihat Callia, memastikan gadis itu baik-baik saja. Ada perasaan bersalah yang masih belum ia akui. Apalagi mengingat sikapnya kemarin yang buruk terhadap Callia. Padahal bukan maksudnya bersikap sedingin, ia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap.
"Ah sudahlah, mood-ku jadi buruk karena bicara dengan batu," ujar Sebastian tiba-tiba merasa kesal juga. Heran kenapa bisa ia bertahan berteman dengan Javier yang tanpa ekspresi.
KAMU SEDANG MEMBACA
One and Only
RomanceC a l l i a G u i n e v e r e Sikapnya dingin, bertolak belakang dengan kopi hitam hangat yang selalu menemani paginya. Dia selalu berkata-kata dengan tenang, berbeda dengan laut yang menjadi kesukaannya. Javier Mackenzie, laki-laki itu berhasil m...