"Morie, bisakah kau membantuku?" seru bibi dari balkon florist.
"Apa yang bisa kubantu?" aku melihat bibi Eliza mencoba meraih ujung jendela yang sedang dibersihkannya.
"Bisakah, kau ambilkan tangga di ruang bawah tanah? Aku tidak bisa mencapai kotoran diujung jendela ini," ucapnya lantang tanpa menghiraukanku.
"Baiklah, tunggu sebentar."
Sejujurnya aku takut pergi keruang bawah tanah sendirian, aku merasa disana tidak aman, seperti ada seseorang yang mengawasiku. Saat usiaku tujuh aku pernah pergi kesana seorang diri dan mendapati suara asing menyebut namaku, "Morie!" terdengar seperti berteriak tetapi setelah aku cek tidak ada seorangpun disana kecuali aku. Aku merinding dan menggeliat seperti ada yang merasuki tubuhku, aku berlari tanpa menghiraukan semua yang ada didekatku dan keluar dari ruang bawah tanah, sejak saat itu aku belum pernah kesana lagi dan ini kali pertamaku menginjakkan kaki di ruang bawah tanah yang mengerikan.
Aku mengendap-endap menuruni tangga kayu memasuki basement, menyalakan lampu dan menarik napas panjang. Aku delapanbelas tahun, aku harus berani! Ini hanyalah ruang bawah tanah, gudang barang-barang yang banyak tidak terpakai, hanya itu tidak ada lagi yang lain. Aku mencari tangga kayu yang biasanya tersandar di samping cermin besar, cermin yang besarnya sama seperti tinggi badanku.
Cermin itu terlihat menarik dimataku, tetap mengkilap walau berada diruang penuh debu bersama barang-barang lain yang sudah usang. Aku berdiri didepan cermin memandangi diriku sendiri, tidak ada yang salah pada diriku, umm cermin ini juga. Aku mengangkat tangga kayu yang ada disampingku, berat juga ternyata. Masih berkutat mengangkat tangga kayu ini, tanpa sadar hampir saja aku tersandung kakiku sendiri, untunglah tanganku cekatan merambah diding bercat abu-abu.
"Ini tangganya, bi." Aku menyandarkan tangga kayu pada dinding balkon tepat dimana bibi Eliza berdiri.
"Terimakasih, Morie," sahut bibi Eliza.
"Umm, bolehkah aku meminta sesuatu?" Sebenarnya aku ragu mengatakan ini pada bibi Eliza, tetapi aku harus tahu seluk beluk cermin besar itu.
"Sebenarnya cermin besar yang ada di basement itu dulu milik siapa?" tanyaku pelan.
"Uh, aku kurang tahu, Morie. Cermin itu sudah ada disana sebelum kamu lahir, mungkin itu milik ibumu," ucap bibi Eliza, masih berkutat pada kotoran disudut jendela.
"Boleh tidak cermin itu jadi milikku? Umm, maksudku dipindahkan ke kamarku," pintaku ragu.
"Tentu saja, Morie. Semua barang dirumah ini milikmu dan keluargamu, kau tidak perlu meminta sesuatu yang menjadi milikmu—bibi menoleh kebawah dan langsung turun—memangnya kenapa? Tumben sekali kamu meminta barang bekas?" ia menaikkan satu alisnya, dan menatapku curiga.
"Aku sangat tertarik dengan cermin itu, bisakah bibi membantuku membawanya ke kamar?" Aku merasa tidak pernah seantusias seperti ini.
"Jadi, kapan aku bisa membantumu?"
"Sekarang?" aku menaikkan alisku dan melihat bibi tersenyum simpul.
Kami bergegas ke basement, aku tidak sabar untuk menatanya di kamarku, pasti akan sempurna seperti bayanganku. Bibi Eliza memiringkan kepalanya dan melihat-lihat setiap sisi cermin itu.
"Sepertinya cermin ini tidak berubah, bingkainyapun tetap mengkilap dan kokoh, hanya saja cerminnya sedikit usang, aneh!" serunya serius.
Ya! tentu saja itu pula yang mengalihkan semua perhatianku sedari tadi. Kalau memang cermin ini usianya lebih tua dariku, lalu ditempatkan di basement seharusnya cermin ini tidak berwujud seperti semestinya.
