Kubuka mataku perlahan, aku tidak terlalu ingat mengapa aku bisa terkulai lemah disini. Kulihat sekitarku, semuanya hitam, merah dan api. Tunggu! Api? Kubuka mataku lebar-lebar.
“Dimana aku?”
“Morie!” suara itu tidak asing, aku mencari sumber bisikan yang menyebutkan namaku.
“Sebelah sini, Morie! Kirimu.”
Itu Kipp, ia—apa ini? Mengapa tanganku terikat keras, ini bukan tali tetapi ini mantera pengikat. Kipp berada disebrang kiriku, ia juga terikat sama sepertiku, kami terbatasi oleh jarak. Aku merasa disini sangat panas.
“Kipp, mengapa kita disini?”
“Kita terperangkap, Morie, kita sudah berada di kerajaan Flegethon!” serunya berteriak kecil.
Flegethon? Secepat inikah kami sampai di Flegethon? Disini tidak terlalu buruk, hanya sangat panas, tidak seperti gambaran yang ada didongeng. Aku dan Kipp berada di ruangan tertutup yang cukup besar. Dindingnya berwarna perak seperti alumunium voil, ada beberapa kata sambung yang dituliskan setiap sudut dinding, tulisan itu berwarna hitam pekat, ruangan ini kosong, tidak ada satu barangpun yang dipajang. Atapnyapun berpelavon datar tanpa ukiran dan sangat mencolok mataku, merah terang nyaris orange, seperti sunset yang terbakar sehingga memantulkan kedinding yang perak. Aku mulai terusik oleh hawa panas yang berasal dari punggungku, kucoba melirik kebelakang dan –oh my!!! Kami berada dipanggangan besar dan diatas bara api yang menyala. Gawat! Sepertinya kami akan menjadi santapan mereka malam ini.
“Kipp! Kita akan mati disini!” aku berteriak panik, selalu seperti ini saat ketakutan.
“Kita tidak akan mati!” kami seperti orang tuli, hanya untuk berkomunikasipun harus berteriak, padahal jarak kami tidak terlalu jauh, ini karena efek bara api yang melolong parau.
“Morie, aku tadi lihat orangtuam—“
“Gadis kecilku sudah terbangun dari tidurnya!” kami tercengang melihat sosok wanita yang datang tiba-tiba sehingga menghentikan ucapan Kipp. Siapa dia? Aku terpana oleh wanita ini. Ia sangat, sangat rupawan. Namun berbanding terbalik dengan rupanya yang elok, ia justru akan menjadikan kami santapan.
“Lihat siapa yang terbaring dipojok sana? Oh pangeran kecil sudah beranjak dewasa rupanya,” ia meneruskan. Pangeran? Ia memanggil Kipp pangeran? Aku menyerngitkan alis mendengar semua ini.
“Apa maumu!” mata Kipp berapi-api melihat sosok wanita itu, sebenarnya siapa ya dia? Asisten Styx? Aku hanya terdiam dan tidak berkutik seperti orang bodoh diatas bara api.
“Tidak seharusnya kau disini pangeran, kau tidak akan bisa lagi kembali kepangkuan ayahmu,” ia meghampiri Kipp dan menyentuh wajah Kipp perlahan dari kening hingga turun kebibir dan menempelkan telunjuknya tepat dibibir Kipp.
Keterlaluan, beraninya ia menggoda Kipp disaat seperti ini. Aku tahu ia memang sangat rupawan dan menggoda, lihat tubuhnya yang begitu menawan walau kutaksir ia seusia ibuku tetapi ia masih sangat sempurna, dan rambutnya yang merah menyala semakin memancarkan sisi kemudaannya.
“Hei wanita menyedihkan, jaga sikapmu! Jangan menggoda seseorang yang lebih muda darimu!” seruku gusar. Ia terperanjat, matanya merekah, ia merasa panas, emosinya meluap.
“Berani sekali kau! Tunggu sampai bulan sabit menampakkan dirinya, kau akan—“
“Tidak!” Kipp menghentikannya berbicara. Apa? Bulan sabit? Tunggu! Jangan-jangan dia adalah Styx.
“Lepaskan dia. Kuperintahkan kau melepaskannya!” walau sama terkulainya denganku, tetapi Kipp tetap berusaha mengancamnya. Mengancamnya bukan berarti memerintahnya seperti itu juga.
