04. Sebuah Nilai Yang Membanggakan

407 46 4
                                    

—Happy Reading—

Kesal.

Satu kata yang mewakili perasaan Jevan saat ini, sesekali ia menendang batu yang berceceran di jalanan untuk melampiaskan rasa kesal yang memenuhi isi hatinya. Kemarin motornya tiba-tiba saja rusak yang diharuskan untuk ke bengkel dan sekarang dia terpaksa jalan kaki ke sekolah, ingin ikut Harel tapi ia terlalu gengsi.

Sebenarnya dia bisa saja naik ojek, tapi ia tak mengerti cara memesannya, karena tak pernah naik yang seperti itu. Ingin naik bus, tapi terlalu ramai. Sekarang, pilihannya hanya jalan kaki. Untung sekolahnya tak terlalu jauh.

Jevan memandang ulangan Biologi itu lalu meremasnya kuat, nilai yang didapatkan benar-benar tidak memuaskan. Karena terlalu larut pada kertas itu, ia sampai tergelonjak saat suara klakson terdengar di telinganya.

Heksa, pelaku yang membuat pemuda itu terkejut. Jevan menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Heksa yang memelankan motornya.

"Mau ikut gak, ngab?" ajaknya.

Jevan menautkan kedua alisnya. "Bukannya lo ngajak Mahes?" Heksa menggelengkan kepala. "Di jemput Bapaknya dia."

Jevan mengangguk. "Mau ikut nggak?" tawar Heksa sekali lagi.

Jevan tentu saja tak menolak, sepertinya Tuhan tahu apa yang dia butuhkan sekarang. Jevan mulai menaiki motor Heksa dengan tidak santai, yang membuat sang pemilik ingin sekali menarik ubun-ubun kepalanya.

Sepanjang jalan Jevan tetap diam membuat Heksa menaruh curiga. Tentu saja, karena biasanya mulut Jevan tak pernah mengatup dari pembicaraan tidak jelasnya.

"Udahlah bray, nggak usah sedih. Nilai lu udah termasuk gede, berapa tadi?" Heksa tahu yang membuat Jevan menjadi diam seperti ini karena nilainya. Hal ini selalu terjadi ketika mereka ada ujian dan nilai Jevan kecil, menurutnya.

"Enam lima," balas Jevan.

"Tuh! Itu udah gede, ye, monyet! Gue aja lima puluh, mau apa lu?" protes Heksa. Jevan terkikik pelan, sahabatnya yang satu ini benar-benar memiliki kesabaran setipis tisu.

—🦋—

"Assalamualaikum."

Sunyi, tak ada balasan yang di dapatkan oleh Harel. Biasanya, sang Bunda akan menyambut mereka dengan antusias dan senyum indahnya. Ah, itu sangat menyesakkan. Dia berjalan ke ruang keluarga dan mendudukkan diri di sofa.

Berapa menit kemudian Harel mengernyit saat suara mobil terdengar di depan rumahnya, dengan cepat ia berlari keluar. Dan benar saja, mobil itu adalah mobil milik Ayahnya.

Saat Bastara mendekat, ia berinisiatif menyalimi tangan sang Ayah. Baru saja tangannya terangkat, Bastara lebih dulu melongos seperti tak ada seorangpun yang berdiri di sana. Harel menghela napas pelan lalu ikut masuk setelah menutup pintu.

Untuk sesaat, Harel ikut terhenti tatkala sang Ayah yang ada di depannya menghentikan langkah kakinya. Harel menatap punggung Bastara was-was. "Mana Jevan?" tanya Bastara.

"Belum pulang," balas Harel.

Bastara menoleh. "Bukannya motor dia di bengkel? Kenapa nggak kamu ajak sekolah bareng? Terus dia naik apa berangkat sekolah sama pulang? Masa jalan kaki?" Semalam Jevan menelpon Bastara jika motornya di bengkel supaya sang Ayah saja yang membayar tagihan.

Dan kini, putra sulung Derga menjadi bingung harus berkata apa. Pagi tadi, saat Harel mengambil motor di garasi, motor Jevan memang tidak ada. Harel pikir, motor itu telah dibawa oleh Jevan karena Jevan sendiri saja sudah tidak ada di rumah.

Harel sama sekali tidak tahu jika motor Adik kembar ada di bengkel. Jevan tidak bilang padanya bahwa ia ingin ikut, dan kalaupun Harel tahu jika motor Jevan di bengkel, dia pasti akan menawarkan untuk ikut dengannya.

"Aku gak tau kalo motor Jevan di bengkel."

Bastara berdecak mendengar itu. "Kamu ini gimana, sih? Keadaan Adik sendiri aja gak tau." Harel mengalihkan pandangannya sembarang arah agar tak bersitatap dengan sorot mata sang kepala keluarga.

"Jadi, aku harus gimana?" tanya Harel.

"Jemput." Setelah mengucapkan satu kata itu, Bastara pergi meninggalkan putra sulungnya. Harel mendengus pelan lalu membalik tubuhnya keluar. Baru saja telapak kakinya menapak di teras, pandangannya telah tertuju pada Jevan dan temannya.

"Thanks, ya!"

Heksa tersenyum. "Iye, santai. Gue pulang yak!" Heksa melajukan motornya sambil melambaikan tangan. Jevan membalas lambaian itu lalu berbalik menuju rumahnya. Di depan sana dia melihat Harel yang berdiri diambang pintu, dengan pandangan lurus ke depan ia melewatinya begitu saja.

Harel juga tak menggerakkan kepala untuk sekedar menoleh melihat Jevan yang berjalan di sampingnya, atensinya tetap setia pada pagar rumah yang tak ada seorangpun.

"Aku pulang!" seru Jevan.

Bastara keluar dari kamar lalu menatap putra bungsunya. Jevan tersenyum lebar, kakinya berlari kecil mendekati sang Ayah. Ia menyalimi tangan Bastara yang diterima dengan baik.

"Ayah kapan pulang?" tanya Jevan. Bastara mendudukkan diri disofa yang diikuti oleh Jevan. Harel menatap mereka berdua sebentar sebelum ia menarik tubuhnya ke kamar.

"Barusan. Kamu tadi jalan kaki?"

Jevan mengangguk. "Pas pergi aku jalan kaki, pulangnya nebeng temen." Ia tersenyum menampilkan deretan giginya.

"Kamu bersih-bersih dulu, gih. Bau keringat." Jevan tertawa mendengar celotehan Ayah. Dengan sengaja dia memeluk Ayahnya yang mendapat dorongan kuat oleh Bastara.

"Hahaha, iya-iya. Aku ke kamar dulu, ya, Yah." Bastara berdeham sambil tertawa pelan. Jevan bangkit lalu melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar, satu persatu ia menaiki anak tangga dengan perasaan senang. Senyuman terus terukir di wajahnya.

Tapi, saat masuk ke dalam kamar, senyumannya mendadak luntur mengingat ulangannya mendapatkan nilai yang tak memuaskan. Apa Ayahnya akan kecewa? Helaan napas terdengar berat, ia melempar tas-nya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur.

Lagi-lagi pikirannya berkecamuk.

Apa rasa bangga orang tua terdapat pada nilai anaknya? Lalu, bagaimana jika nilai itu tidak memuaskan? Apa mereka tidak akan bangga?

—🦋—

"Mana ulangan kamu? Ulangan 'kan tadi?" pinta Bastara. Remaja jangkung itu mengangguk setelah mendengar ucapan Ayah. Bastara melipat kedua tangannya di depan dada sembari menunggu putranya mengobrak-abrik isi tas mencari lembaran kertas itu.

Saat ketemu, dia menatap sejenak lembaran itu sebelum ia sodorkan pada Ayahnya. Dengan cepat Bastara merebut lembaran itu, matanya bergulir pada setiap sudut kertas ulangan putranya. Sang pemilik berusaha tenang walau keringat terus mengucur dari dahinya.

"Cuma segini?"

Bastara menurunkan tangannya lalu menatap putranya dengan lekat seolah memberi peringatan, yang ditatap tentu saja merasa terancam.































tbc.


vote dan komen dipersilahkan.

tq sahabat.

Mandrakanta | Haruto Jeongwoo | Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang