1

47 3 0
                                    

"Ricky, woi!"

Ricky terlonjak kaget di tengah lamunan saat seseorang mengguncang bahu kirinya. Ia menoleh, menemukan keberadaan Aeri di sampingnya. "Ngelamun aja. Mikiran apa, sih?" tanya Aeri.

Laki-laki itu hanya menggeleng samar dan meratapi aspal. "Lagi-lagi masa lalu." Ricky bergumam kecil sembari menyugar rambutnya. Ia sedikit menengadah dan menoleh. Menemukan teman-temannya kini sedang berkumpul di depan halaman sekolah. Ah, dia ingat. Mereka berencana pergi bersama ke toko kelontong untuk membeli beberapa perlengkapan yang akan digunakan kerja kelompok.

"Males bangeeeeet! Gue mau rebahan aja!" Jafar mengeluh dengan bahu lesu. "Me too," diangguki Jeje.

"Yang nggak ikut nggak dapet traktirannya Jafar!" Aeri mengangkat tangan kanannya tinggi. Hal itu langsung disambut pelototan dari Jafar. "Uang gue, njr."

"Gapapa. Kan kamu kaya." Aeri menjulurkan lidahnya mengejek. Aerin ikut mengangguk dengan wajah datar menyetujui ucapan kakak kembarnya.

"Gue cilok, goceng," sahut Ricky.

"Two-in, aku sama Aerin." Aeri menimpali seraya merangkul bahu Ricky setelah berjinjit menggapainya. "I want siomay saja kalau begitu." Jeje menambahi.

Jafar memasang wajah sewot. Mengeluarkan dompet kulitnya dari saku. "Lihat, nih! Kaya dari mane?!" Jafar menunjukkan isi dompetnya yang kosong. "Halah, lihat tuh. Merek dompetnya aja LV. Sok-sok bilang nggak kaya." Aeri menyikut lengan Ricky. "Pelit doang dia mah. Jafar banget." Ricky pun balik menyenggol lengan Aeri.

"Kalian semua. Ba-ji-ngan." Jafar menunjuk satu persatu keempat temannya dengan alis yang bertaut tajam. Mereka semua lantas tertawa terpingkal-pingkal. Aeri melangkah menepuk punggung Jafar, tetap dengan tawanya yang renyah. "Udah, ih. Canda doang. Ayo jalan, nanti tokonya tutup." Jafar mendengkus kesal. Ia sudah mencoba bersabar semampu mungkin.

Mereka semua pun lanjut melangkah untuk pergi mencari toko kelontong terdekat. Aeri membuka aplikasi map online-nya, ia tidak terlalu tahu-menahu jalanan di daerah sana.

"Lo bisa baca map nggak, sih? Nyasar ke kuburan mulu dari tadi." Beberapa menit setelah membuka map dan mengikuti arahan Aeri, mereka berkali-kali tersasar ke berbagai tempat. Kadang ke kuburan China, kuburan Kristen, sekarang kuburan umum. Aeri hanya mengusap tengkuknya sembari berkeringat. "Sebenarnya, aku nggak bisa baca map."

Hening. Terdiam....

"Stupid! Kita ternyata cuma ngabisin energi so much aja dari tadi!"

"Hihh! Dasar women!" Jafar menekan kedua pipi Aeri kesal sekaligus gemas. Gemas ingin membuat Aeri gepeng.

"Yaw mawp (Ya maaf)," racaunya tak jelas.

Ricky menghela napas panjang. Untung saja ini Aeri, bukan Jafar. Kalau Jafar pasti sudah dia tonjok. "Siniin hapenya." Ricky mengulurkan tangannya. Aeri melihat Ricky ragu, sebelum akhirnya memberikan ponselnya pada Ricky. "Nggak usah buka yang lain. Ada rahasia dunia di sana."

"Pasti isinya ada nekopoi," terka Jafar asal.

"Kok tau?"

"Njr, punya kucing peduli ternyata." Ricky menganga tak menyangka mendengar respon Aeri. Gadis itu hanya mengedik acuh dan ikut melihat map ponselnya yang ada di tangan Ricky. Pemuda itu menggulir layar kembali memeriksa tujuan mereka. "Oke, hafal." Ricky mengembalikan ponsel pada Aeri dan melangkah lebih dulu. "Lah, emang udah tau di mana? Baru sekali liat gini."

Jafar menepuk bahu Aeri, "ck,ck,ck. Cowok kok diremehin soal baca map." Jafar menggeleng dengan ekspresi seolah ayah yang bangga pada anaknya. Lalu mengejar Ricky yang sedikit mulai melangkah jauh.

Maruella GoddessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang