6

9 2 0
                                    

Pulang sekolah di hari Selasa. Hari ini seperti biasa, Aeri harus pulang tanpa Aerin karena siswi itu harus mengikuti bimbingan belajar tambahan setelah jam sekolah berakhir.

Berjalan melewati lapangan basket. Sebuah bola berwarna oranye menggelinding ke arah kakinya. Dia langsung memungut bola tersebut dan melihat Rehan berlari ke arahnya.

"Aeriii!" Rehan terlihat berlari dengan senyum lebar dan berseri-seri. Senang rasanya ia bisa melihat wajah gebetan yang ingin sekali dia lihat. Setelah berhenti di hadapan Aeri. Aeri menyodorkan bola besar itu pada Rehan. Ia menyunggingkan senyuman lucu. "Awas bolanya kena kepalanya orang lain."

"Hehe, iya, cantik."

Aeri terkekeh dan menggeleng. Mengabaikan panggilan terakhir dari Rehan tadi. "Langsung pulang abis ini. Jangan keluyuran." Aeri sudah benar-benar mengembalikan bola basket pada Rehan. Pemuda itu merasakan kedua pipinya memanas saat menerima bola. Dari kalimatnya tadi, ia merasa seperti seorang suami yang dinasihati istri. "Ya ampun, Ri! Jangan ngajak nikah sekarang! Gue masih perjaka, hiks. Belum siap."

Seketika raut wajah Aeri menjadi datar. Perasaan dia tidak menyinggung tentang pernikahan sama sekali, deh.

"T-tapi aku suka sama kamu, kok. Nanti kalau udah lulus aku bakal lamar kamu, abis itu nikah di gedung besar, abis itu bulan madu ke Korea. Terus buat anak sampek punya lima bocil, terus–" ujaran Rehan berhenti kala ia membuka mata dan tidak lagi melihat keberadaan Aeri di hadapannya. Ia berbalik dan melihat Aeri berlari menuju gerbang. Mungkin saking asiknya menghalu, ia jadi tidak sadar jika Aeri melarikan diri.

"Alah, paling Aeri salting sampek lari gitu." Rehan masih terlihat bersemi-semi dan berpikir positif. Lanjut membayangkan masa depan bersama mbak gebetan.

♠♠♠

Setelah berlari untuk kabur dari Rehan yang mulai melantur. Aeri duduk di bangku kayu di sebuah taman bermain anak, yang tepatnya berada di dekat sekolah. Aeri menghela napas lega dan menggeleng.

"Tatak!"

Terkejut. Aeri segera menunduk dan melihat seseorang yang memanggilnya. Ia melihat seorang balita dengan kisaran umur 4 tahun dan kulit tan tropis menarik ujung rok sekolahnya.

"Tatak, yo main," ucap balita itu. Aeri berjongkok hendak menyamakan tinggi si anak tersebut. "Halo, dek. Namanya siapa, nih?"

"Atu Aiya," balasnya dengan bahasa anak kecil yang cadel. Aeri hanya mengangguk walau tidak terlalu mengerti. "Maksud kamu, Alia? Nama kakak, Kak Aeri. Salam kenal ya. Orangtua kamu mana?"

"Yayah egi, eyi emen."

"Ohh, beli permen?"

Balita perempuan itu mengangguk. Menarik lagi ujung rok milik Aeri. "Yo in in, ain."

"Kamu mau main sama aku?" Aeri mengambil tongkat kayu yang tergeletak dan membuat sebuah bentuk di atas pasir seraya bernyanyi.

"Lingkaran kecil, lingkaran kecil. Lingkaran besar!" Aeri membuat gambar dua lingkaran di dalam sebuah lingkaran besar. "Lingkaran kecil, lingkaran kecil. Lingkaran besar~ ayah, bunda, naik kereta. Kakek, nenek, berguling-guling~"

Balita tersebut hanya diam dan fokus menonton tangan Aeri yang bergerak menggambar sesuatu yang sudah setengah jadi.

"Tiga, empat, tiga dan satu. Garis, titik, garis dan miring. Jadilah babi!"

"Abi! Woahh!" ia bertepuk tangan senang kegirangan. "Ayo uat abi agi!"

Aeri memberikan tongkatnya pada Alia agar balita itu membuat gambar babinya sendiri.

"Yingkayan ecil, yingkayang ecil. Yingkayan ecal!"

Aeri terkikik mendengar nyanyian ala anak cadel dari Alia. Ia terus memerhatikan dan sesekali membenarkan lagu jika Alia salah lirik atau pun lupa lirik.

"Alia!"

Aeri berbalik dan melihat seseorang yang ia kenal berlari mendekat dengan wajah khawatir. Dia Adam Carret. Kakak kelas menengahnya.

"Yayah!" Alia melemparkan tongkat kayu yang digenggamnya tadi dan berlari mendekati Adam. Pemuda bule itu berjongkok dan memeriksa keadaan tubuh Alia. "Kau tidak apa-apa 'kan? Tidak terluka?"

"Ntak, ntak. Ayia ain esama atak eyi," tunjuk Alia pada Aeri. Adam mendelik kaget saat baru menyadari keberadaan adik kelasnya itu. Mampus sudah. Ia tidak bisa mengelak lagi, apalagi tadi Alia terang-terangan menyebutnya 'Ayah'.

♠♠♠

Adam dan Aeri duduk berdampingan di bangku kayu yang Aeri duduki tadi. Tangan Adam tersulur untuk bermain dengan Alia yang duduk di tanah.

"Jadi, kamu ayahnya Alia?" tanya Aeri sekali lagi. Adam mengangguk pasrah. Ia sudah pasrah jika sebentar lagi akan mencemoohnya yang jelek-jelek. Toh, ini memang hasil perbuatannya sendiri. Tapi dia tidak peduli. Mau bagaimana pun komentar Aeri setelah ini, ia akan tetap menjaga Alia, putrinya.

"Wahh, hebat banget." Aeri tersenyum tulus menatap Alia yang asyik bermain dengan tangan ayahnya. Hal itu justru membuat Adam terkejut. Tidak sesuai dengan ekspektasinya. "K-kau, tidak terkejut? Berkomentar sesuatu?"

Aeri menatap Adam kebingungan sebelum akhirnya ia menjawab, "Sedikit, sih. Di umur yang masih muda segini. Tapi hebatnya, Kak Adam masih bisa bagi tugas sebagai seorang ayah sekaligus siswa. Pokoknya Kak Adam keren!" puji Aeri dengan cengiran khasnya. Hati Adam menghangat dengan pujian dari adik tingkatnya itu. Ini pertama kalinya ada yang memujinya alih-alih mengomentari hal buruk pada anak dan juga dia.

"Terima kasih ... tidak heran dia menyukaimu," gumam Adam dengan sunggingan kecil di bibirnya menatap Alia. Aeri tampak bingung dengan siapa yang dimaksud, namun ia akan mengabaikannya.

"Alia umur berapa? Pinter banget ngomongnya walau masih nggak jelas."

"Empat lebih satu bulan. Dia kurawat di rumah sendirian, jadi tidak ada yang mengajarinya bicara selain aku. Kadang Alia akan kutitipkan ke tetangga jika aku pergi sekolah," jelasnya. Sekali lagi Aeri menatap Alia yang kulitnya berwarna cokelat tropis seperti orang Indonesia pada umumnya, juga rambut hitam yang tipis.

"Ibunya ke mana? Pasti mirip ibunya. Ya kan, Alia?" Aeri terkekeh dan memainkan tangan mungil milik Alia. Raut wajah Adam perlahan berubah menjadi muram. Terasa berat ia menjawab pertanyaan itu.

"Iya. Alia mirip dengan ibunya yang orang Indonesia. Tapi ia sudah tiada, setelah melahirkan Alia."

Tertegun. Aeri menoleh dengan kening mengerut pada Adam. Ekspresi wajah itu sudah Adam duga.

"Aku menghamili pacarku saat aku masih SMP. Kemudian, dia hamil dan menyembunyikan kehamilannya dariku. Aku pun baru mengetahui Intan, kekasihku yang sudah hamil besar saat masa rehabilitasi remaja dari rekanku. Setelah aku bebas rehabilitasi, aku menemukan Intan sudah meninggal saat melahirkan di rumah sakit. Tidak ada yang mau mengambil bayinya, yang katanya masih sehat dan normal di rumah sakit, orangtua Intan tidak ada yang ingin menerima bayiku. Pun aku membawa pulang Alia sendirian dan merawatnya hingga saat ini. Namun aku mulanya harus menerima makian dan penganiayaan dari orangtua Intan dahulu sebelum akhirnya dari kedua orangtuaku. Tidak apa-apa, itu memang balasan pahitku." Adam tersenyum tipis. Menggendong Alia untuk duduk di pangkuannya.

"Aku mencintai dan menyayangi Alia. Juga kekasihku." Adam mencium pipi anaknya gemas membuat Alia cekikikan geli. Aeri menunduk dengan perasaan yang iba dan sedih. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan berada di posisi Adam yang serba salah. Pasti sulit untuk hidup dengan cemooh di sekitar tempatnya hidup.

"Dulu, sekitar lima tahun yang lalu juga ada kasus pemerkosaan terhadap pacarnya. Katanya pelaku itu salah satu anggota Maruella. Pasti anaknya seumuran Alia juga," ujar Aeri. "Kau tau geng Maruella dari siapa?" tanya Adam menyelidik.

"Dari tetangga komplek sebelah. Namanya Kak Hallen, dia–"

"Hallen?! Di mana dia sekarang? Di mana ketua berada?!" Adam berdiri dengan sigap. Membuat Aeri berjengit kaget. "E-eh ... ketua?" Aeri tampak keheranan.

"Aeri, aku lah pelaku pemerkosaan lima tahun yang lalu itu."

Maruella GoddessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang