5

9 1 0
                                    

Joan mengenakan jam arlojinya di depan cermin. Matanya menatap kosong ke arah pantulan wajahnya sendiri. Ia mengusap kening dengan segala beban pikiran yang ada.

"Ke sana lagi, Bang?" sosor Leon saat melihat abangnya siap dengan pakaiannya yang rapi. Sudah menduga tempat apa yang akan dihampiri abang lelakinya dengan pakaian serapih itu.

"Iya. Titip rumah."

Joan langsung melesat keluar kamar dan pergi ke sebuah rumah, yang tepatnya berada di sisi rumah mereka. Joan berdiri di depan pintu, dengan degup yang kencang.

Prang!'

Berjengit sedikit. Suara itu jelas membuat dia semakin ragu untuk mengetuk pintu. Namun karena sudah membulatkan tekad. Lengannya terangkat untuk mengetuk daun pintu tersebut.

Tok Tok'

Beberapa detik setelah suara ribut dari dalam. Seorang wanita berambut pendek dengan bintik-bintik cokelat di sekitar pipi membukakan pintu. Matanya yang tersorot tajam mampu membuat siapa pun bergidik ketakutan di hadapannya.

Mata Joan bergulir pada pemandangan di belakang wanita tersebut–pecahan vas berceceran bersama seorang remaja bernama Ricky yang duduk bersimpuh dengan ekspresi ketakutan.

"Ngapain?" tanya wanita itu singkat. Seolah tersadar, Joan segera menjawab tanpa ragu dan bertele-tele. "Yaya ada, Tante Yuna?"

Yuna memicing. "Di kamar." Ia langsung berbalik dan pergi meninggalkannya. Joan kemudian masuk dan berjongkok mengulurkan tangannya pada Ricky. "Maaf telat," ujarnya membantu Ricky berdiri. Pemuda itu menggeleng dengan gemetaran. Mental apalagi yang dihancurkan kali ini?

"Gue nggak sengaja. Bener, Bang. Nggak sengaja." Ricky menggeleng lemah. Ia seolah tak berkutik di hadapan ibunya tadi.

Joan menepuk bahu Ricky dua kali. "Iya. Gih, pergi ke kamar." Kepalanya ditelengkan memberi arahan. Ricky mengangguk cepat dan segera pergi ke tempat kamarnya berada.

Mahasiswa itu terdiam, sebelum akhirnya dia beranjak pergi ke kamar si kembar.

Tanpa mengetuk atau salam. Joan masuk ke dalam kamar Wawang yang terhubung dengan kamar milik Yaya dengan raut yang sulit ditebak. Ia melihat Wawang sedang duduk di pinggir ranjang dengan menggigit jarinya tampak gelisah.

"Lo tau 'kan?" tanya Joan menatap gelagat Wawang. Wawang seketika berhenti menggigit jarinya dan menoleh pada Joan. "J-Jo ... g-gue. Gue pengecut," gumam Wawang dengan mata yang tersirat sebuah kegelisahan dan rasa takut. Joan lantas berembus berat dalam sekali tarikan napas. "Iya. Lo pengecut. Karena takut sama ibu lo daripada nolong Ricky," sindir Joan langsung. Wawang menunduk mencoba menyadari kesalahannya yang justru bersembunyi di kamar saat Yuna marah pada Ricky tadi.

"Wang, orang paling lemah di dunia ini adalah orang yang nggak bisa ngelindungin orang tersayangnya. Inget itu." Joan pun berlalu pergi ke kamar Yaya. Meninggalkan Wawang dengan sejuta rasa bersalah yang menyangkut di lubuk hatinya.

♠♠♠

"Tuan Muda, kita sudah sampai."

Mobil sampai di depan salah satu rumah besar yang luas dan tampak megah seperti istana. Epul mematikan ponselnya yang dia mainkan tadi setelah mendengar supir pribadinya bicara. Dia keluar setelah pintu dibukakan. "Tuan Besar ada di lapangan golf di atas atap." Beberapa pengawal dan pelayan langsung menyambut kehadirannya.

Epul memasukkan kedua tangannya ke saku dan melirik ke para pelayan. "Papi sengaja nunggu di sana?"

"Benar, Tuan Muda."

Epul mengangguk sekali, kemudian berjalan memasuki bangunan tersebut saat pintu otomatis bergeser. Ia mengikuti lantai berkarpet yang membawanya memasuki sebuah lift.

Maruella GoddessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang