Bab 37 √

11.3K 891 37
                                    

Ayah, dia sosok terbaik dari yang terbaik. Setiap anak pasti mencintai sosok ayahnya, berharap kelak ia menemukan pasangan yang sama dengan sang ayah.

Kasih sayang dari ayah tentu merupakan harapan terbesar bagi anak, terutama perempuan. Jika tempat pelukan ternyaman itu adalah ibu, maka tempat ternyaman untuk bermanja, bercerita, mengeluh, itu adalah ayah. Tidak percaya? cobalah.

Namun itu bagi anak yang beruntung.

Jika kebalikannya?

Tidak jarang ada seorang anak yang membenci ayahnya sendiri karena kegagalan ayah dalam perannya. Di dunia ini pasti ada sosok ayah gagal, ayah bejat dan ayah jahat.

Dan tentunya itu bukanlah impian seorang anak.

Dan Ruby merasa beruntung karena bisa mendapatkan sosok ayah yang baik, penyayang, dan tidak kasar seperti Alister. Ruby merasa beruntung.

Dulu ia tidak dapat merasakan peran ayah. Bertemu pun tidak pernah. Karena Tuhan terlalu menyayangi ayahnya.

Namun sekarang, impian yang pernah Ruby angan-angankan namun mustahil terjadi kini dapat ia rasakan melalui kehidupan baru nya.

Awalnya Ruby tidak percaya akan semua ini. Siapa juga yang percaya dengan perpindahan jiwa yang sudah pasti mustahil terjadi?

Namun tampaknya tuhan tengah berbaik hati padanya. Ruby merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan. Peran ayah, cinta ayah, pelukan ayah.

Terimakasih tuhan.

Ruby selalu mengatakan hal itu dalam hatinya, jika bukan kebaikannya tidak mungkin Ruby bakalan di posisi sekarang.

"Papa, I miss you"

Tiada lelah Ruby mengucapkan kata tersebut. Sebagai anak yang baru merasakan kasih sayang ayah, tentu membuat nya lengket dengan Alister.

"Ruby, ayo makan sayang"

"Nanti aja, Oma"

Amora menghela nafas berat. Membujuk Ruby harus memiliki kesabaran ekstra. "Ruby, tidak baik menunda makan sayang. Papamu akan sedih jika mengetahuinya"

Alister paling tak suka putrinya menunda makan. Lalu, saat mengetahui tubuh putrinya mengurus, tentu akan memancing amarah Alister.

Dan hal itu paling Ruby hindari. Alister memang jarang sekali marah, namun kemarahannya patut untuk di hindari. Pernah dengar orang sabar jika marahnya seram? Itulah Alister.

"Ya udah, Oma. Tolong bawa ke sini, Oma. Ruby mau makan di sini aja" pinta nya sambil melepaskan pelukannya di tubuh Alister.

Amora tentu menurut. Wanita paruh bayah itu berjalan mendekati brankar, lalu meletakan sebuah piring di pangkuan Ruby.

"Makasih, Oma" Amora mengangguk, mengusap rambut cucunya itu sebentar.

Bola mata Amora melirik wajah damai Alister sendu. Sudah genap sebulan Alister di nyatakan koma setelah berhasil menghadapi masa kritisnya, hal itu tentu mempengaruhi Ruby yang perlahan-lahan berubah pendiam dan pemurung.

"Alister, cepatlah sadar nak. Kasihan putrimu" batin Amora berdoa.

"Oma, Ruby udah selesai, Oma" Ruby menatap Amora sembari menyodorkan piringnya.

"Pintar cucu, oma" puji Amora menerima piring tersebut, tangannya mengusap rambut coklat itu lembut kemudian merogoh saku celananya.

"Ini, obatnya di minum"

Ruby diam menurut. Setelah selesai dengan kegiatan rutinitas nya, Ruby menatap Amora.

"Sampai kapan Ruby minum obat terus, oma?" Selama sebulan belakangan ini, tiada henti Ruby meminum obat. Ruby pun tau faktor sebabnya.

RUBYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang