01 - Awal

64 4 0
                                    

Sebuah Civic keluaran terbaru terparkir rapi di halaman sebuah rumah. Terlihat seorang gadis keluar dari pintu mobil dengan seragam sekolah melekat di tubuhnya.

Kaki jenjangnya memasuki kawasan rumah besar di depannya. Daripada rumah, mungkin lebih ke arah mansion, sih.

Keningnya mengerut saat tak sengaja mendapati sebuah mobil yang dia kenali. Porsche kesayangan Papinya. Apakah beliau sedang ada dirumah?

Pintu besar itu dibukanya perlahan, sambutan dari para pelayan menyapanya. Dia hanya melambaikan tangan sambil tersenyum lebar dan berlari menuju ruang keluarga.

Dan benar saja, sosok yang sangat dikenalinya sedang duduk di sana sambil menatap layar laptop. Gadis itu berlari kecil ke arah belakang pria yang terlihat sibuk. Tangannya merangkul bahu dari belakang.

"Papi!" panggilnya dengan nada senang.

Pria itu tersenyum manakala menyadari ada tangan yang melingkar di lehernya. Kepalanya mendongak, menemui malaikat kecilnya yang sedang tersenyum lebar.

"Kok Papi nggak denger adek pulang?" Pria itu—Amato—mencubit pipi putrinya.

"Sibuk, sih." Gadis itu cemberut. "Papi akhir-akhir ini jarang dirumah. Udah lupa ya punya anak secantik adek ini dirumah?" sindirnya sambil duduk di sebelah Papinya.

Amato terkekeh kecil. "Maaf, ya, sayang. Papi kemarin habis ada urusan di luar negeri, jadi nggak bisa terlalu sering di rumah."

Pria yang berusia tiga puluh lima tahun itu semakin terkekeh melihat pipi putrinya yang menggembung. Namanya Catherine Val Miranda Risega. Putri tunggal Amato yang duduk di bangku SMA kelas 10.

Biasanya dipanggil Mira. Tapi sama Amato keseringan dipanggil adek.

Putri tunggalnya itu sering ngambek padanya perihal Amato yang terlalu sibuk bekerja. Bahkan tak jarang gadis itu melakukan sesuatu yang diluar nalar untuk menarik perhatiannya.

Makanya saat ini Mira sangat senang melihat keberadaannya di rumah ketika pulang sekolah.

"Miif yi siying." ujar Mira nyinyir. Dia meraih remote televisi kemudian menekan tombol power.

"Ganti baju, dulu, adek. Kamu bau, banyak debu juga dari jalanan." Amato menegur putrinya yang malah sibuk melihat tayangan televisi.

"Aku gak bau! Lagian, aku bawa mobil. Gimana ceritanya bisa kena debu jalanan?"

"Tetep aja, sana ganti baju dulu. Kalau bisa mandi sekalian, udah hampir jam empat sore itu."

Mira menggeleng. "Sekalian aja kenapa, sih, Pi. Aku mandi jam lima sore ntar aja, lagian besok nggak dipake juga seragamnya."

Amato menghela napas. Dari sekian banyaknya sifat Miranda, hanya ini yang membuatnya kuwalahan menghadapi putrinya itu. Sifat keras kepalanya benar-benar tidak bisa ditalangi.

Belum lagi kalau pengen sesuatu. Terkadang Amato sampai nelen bodrex saking pusingnya.

Terkadang Amato ingin mengeluh pada sang istri yang telah meninggalkannya dengan Mira sejak gadis itu masih kecil. Dia ingin berteriak padanya bahwa mengurus satu anak gadis sungguh merepotkan.

Mungkin karena Amato yang terlalu memanjakan putrinya hingga membuat sifat Mira menjadi keras kepala, manja dan apapun yang dia inginkan harus dituruti.

Tapi meski begitu, Amato sangat menyayangi putrinya lebih dari apapun.

"Oh iya, tumben Papi udah di rumah jam segini. Biasanya kan pulang malam, perusahaan lagi free, ya?" Mira bertanya pada Papinya yang terlihat melamun.

sweet homeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang