Bab 1

2.4K 72 1
                                    

"Bangun!" teriak ibu yang kesekian kalinya. Aku merasakan sakit di kakiku sampai aku memekik, yang kutahu adalah cubitan ibu yang super sekali.

Kali ini aku menyerah, aku bangun terduduk di ranjangku dan memelototi ibu. Seketika aku takut melihat ibu. Dia sedari tadi melotot juga padaku, dengan kedua tangan berkacak di pinggang dan kaki yang lebar.

Yah, kau bisa membayangkan nafas panas keluar dari hidungnya dan ada tanduk di kepalanya. "SAKIT!" teriakku tidak mau kalah dengan pelototan ibu.

Ibu memukulku dengan bantal. "Kau ini anak sekolah! Ini hari pertamamu sekolah!" Ibu kembali memukulku dengan bantal. "Cepat siap-siap, sudah jam berapa sekarang!"

Ibu menghela nafas kesal dan pergi meninggalkanku, tidak lupa membanting pintu kamarku. Aku memutar bola mataku lalu menidurkan badanku di ranjang kembali.

"Awas jika ibu masuk kesana dan kau masih tiduran!" teriak ibu dari luar kamar. Badanku bergidik ngeri, aku segera bangun dan menyambar handukku. "Ampuuuuuun!" teriakku, walaupun aku tidak tahu ibu mendengarnya atau tidak.

Ini hari pertamaku masuk ke SMA. SMA Nusa Bangsa namanya. Aku berdiri di belakang barisan kelas X IPA 2 perempuan, urutan ketiga dari belakang. Laki-laki di barisan kiri, dan perempuan di barisan kanan. Aku bersyukur memiliki badan yang lumayan tinggi, karena pohon-pohon di belakangku melindungiku dari sinar matahari yang menyinarkan sinarnya dengan kejam. Beberapa anak perempuan di barisan depan sudah berkeringat.

Upacara belum dimulai, para petugas masih sibuk menyiapkan dan menata barisan. Tiba-tiba, rombongan kakak kelas, yang semuanya perempuan, datang ke barisan laki-laki kelasku, tepat di sebelah kiriku.

Aku melihat mereka sedang, yah, bisa dianggap menggoda, laki-laki yang sedang kutatap saat ini. Aku tidak tahu kenapa mereka mengenalnya, padahal dia tidak masuk selama 3 hari yang lalu, saat melaksanakan mos.

"Boleh minta pinmu?" tanya salah satu dari mereka. Laki-laki itu kelihatan kewalahan menyikapi mereka. "Ah, nanti saja kak," katanya sopan. "Upacaranya akan segera dimulai."

Kakak-kakak itu tetap memaksanya. "Ah, tidak apa-apa. Cepat sebutkan, akan kuketik di ponselku." Akhirnya laki-laki itu menyerah dan menyebutkan pinnya. Rombongan kakak kelas itu menjerit centil, beberapa mengatakan "yes!" dengan "s" seperti desisan ular.

Setelah mereka pergi, mata anak laki-laki itu tidak sengaja menatapku saat membalikkan tubuhnya menghadap ke depan. Aku menatapnya, lalu memutar bola mata dan mengangkat bahu, yang kuharap dia bisa mengerti artinya adalah "Itu menjijikkan, bagaimana bisa kau memberikan pinmu kepada orang yang tidak kau kenal."

Aku membalikkan tubuhku menghadap ke depan, begitu juga dengannya. Beberapa menit kemudian upacara dimulai.

Kakiku terasa pegal saat berjalan menuju kelas baruku setelah upacara selesai. Aku memijat kakiku saat duduk di bangku yang kupilih tadi pagi. Aku melihat sebuah tas oranye bergambar bunga-bunga di sebelah bangkuku, yang berarti ada anak perempuan yang duduk di sebelahku.

Beberapa menit kemudian ia datang dan langsung duduk. Dia menatapku, dan aku tersenyum membalasnya. "Ah, siapa namamu?" tanyanya.

Aku mengulurkan tangan. "Namaku Soraya. Kau bisa memanggilku sesukamu," dia menjabat tanganku. "Baiklah, kurasa aku akan memanggilmu Raya?" aku mengangguk setuju. "Dan namaku Clarissa. Kau bisa memilih nama panggilan untukku juga."

"Bagaimana kalau Rissa?" tanyaku. Ia menatapku. "Oh, tidak, kurasa itu kurang bagus." aku menempelkan telunjuk kananku ke dagu. "Boleh," ucapnya. "Beberapa temanku juga memanggilku dengan sebutan itu." ia tersenyum.

Aku balas tersenyum dan mengangguk. "Lalu, apa aku boleh memanggilmu Jalan Raya?" tanya seseorang di belakangku. Aku dan Rissa segera menoleh.

Cowok itu lagi, gerutuku dalam hati. "Apa maksudmu?" tanyaku ketus. "Oh, kau tidak suka?" tanyanya. Ia mengerutkan alisnya dan bola matanya menatap ke atas, sedang berpikir. "Jagat Raya?" usulnya. Aku memelototinya.

A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang