Bab 9

767 37 9
                                    

Raya POV

Belum pernah.

Seumur hidupku, belum pernah aku diajak dengan laki-laki ke restoran semewah ini, hanya berdua. Kupandang semua sudut di restoran. Dan apa yang aku dapatkan?

Di setiap sudut ada pasangan-pasangan yang sedang bermesraan. Aku menatap tanganku yang sedang digenggam Hafiz dengan gugup.

"Atas nama Hafiz." Ucap Hafiz kepada resepsionis. Sang petugas melihat daftarnya sebentar.

Hafiz menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku balas tersenyum, tapi dengan gugup. Aku bisa merasakan tanganku mulai berkeringat dingin.

"Meja nomor dua belas." Kata petugas resepsionis. Ia lalu menepuk tangannya dua kali, dan pegawai lain muncul di depan kami. "Tolong antarkan Tuan dan Nona ini ke meja dua belas."

"Baik." Jawab pegawai laki-laki sambil sedikit membungkuk pada aku dan Hafiz. "Mari."

Kami mengikutinya ke meja bernomor 12. Hafiz menarik kursi untuk kududuki. Aku tersenyum berterima kasih. Aku hanya diam sambil memainkan jari di bawah meja selagi Hafiz mengatakan pesanannya.

"Apa kau alergi sesuatu?" Tanya Hafiz.

"Tidak ada, kurasa."

Hafiz mengangguk dan melanjutkan pesanannya, yang aku tidak mengerti karena bahasanya sangat asing, mungkin Jerman.

"Hei." Aku berbisik pelan sambil mencondongkan badan setelah pegawai tadi pergi. Hafiz ikut mencondongkan badan. "Apa ini tidak berlebihan?"

"Berlebihan bagaimana?" Tanya Hafiz balik.

"Ya, berlebihan." Aku mengedarkan pandangan, dan ia mengikutinya. "Ini terlalu formal. Semuanya berisi pasangan-pasangan dewasa. Ini sama sekali bukan gayaku."

Hafiz tertawa sedikit. "Baiklah, maaf sudah mengajakmu ke sini. Ini adalah yang pertama dan terakhir kali, oke?"

Aku tersenyum lega.

"Dan..." Hafiz mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. "Ada yang ingin kukatakan padamu."

Seketika aku kembali berkeringat dingin. Telapak tanganku sudah kembali basah. Hafiz selalu membuatku deg-degan dengan sikapnya.

Ia menatapku. Aku mengangkat alis sedikit dan tersenyum, memintanya melanjutkan.

"Kita sudah melalui banyak hal bersama." Mulainya. "Mungkin kita bisa menetapkan sesuatu."

"Apa itu?" Tanyaku.

"Sesuatu, seperti, kau tahu..." Ia mengumpat tanpa suara. "Ternyata susah bicara di depannya." Bisiknya, lebih ke dirinya sendiri.

Ia berdeham. "Sesuatu, seperti hubungan, yang, yah..."

Aku tertawa sedikit.

"Kau tahu, ini sangat susah." Ia mengeluarkan nafas dari mulutnya yang berbentuk O. Aku tersenyum, senang melihat salah tingkahnya, karena biasanya akulah yang salah tingkah, bukan ia.

"Kau bisa." Kataku, mengerti ke arah mana pembicaraan ini. "Langsung to the point saja." Dan ketawa kami pun pecah.

"Baiklah, baiklah." Ujar Hafiz. Ia menegakkan badannya, lalu merogoh sesuatu dari saku jasnya. Benda itu berbentuk kotak warna hitam. Aku penasaran apa isinya. "Maukah kau..."

Ia membuka kotak tersebut di depanku. Isinya adalah 2 cincin warna perak, di tengah-tengahnya ada 2 bulatan kecil yang menyatu. "Jadi pacarku?"

DEG.

Jantungku seperti akan meloncat keluar saat ia mengatakannya. Lidahku terasa kelu. Aku tahu ia akan mengatakannya, tapi kenapa rasanya masih gugup? Aku menelan ludah, berusaha menelan kegugupanku juga.

A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang