"Raya!"
Aku berhenti berjalan dan membalikkan badan ke asal suara. Kulihat Bagas berlari ke arahku. Ia berhenti dengan decitan sepatu yang keras.
"Ya?" tanyaku.
Ia menjawabnya setelah nafasnya kembali teratur. "Mau kemana?"
Aku mengerutkan alis. Ia mengejarku hanya untuk berkata itu?
"Kantor guru." kataku sambil mengangkat berkas-berkas kelas di tangan kiriku. "Ada apa?"
Ia menggeleng pelan. "Tidak apa-apa."
Aku mengangguk dan siap untuk kembali melangkah ke kantor guru, saat ternyata ia belum selesai berbicara.
"Aku hanya ingin tahu," katanya. "Er... Bagaimana kencanmu dengan Hafiz kemarin?"
Ia menatap ke segala arah, seakan takut didengar seseorang. Aku menambahkan kerutan di alisku. "Baik." kataku singkat.
Aku merasa Bagas bersikap aneh, seakan-akan ia sedang berusaha menjauhkanku dari Hafiz, sejak kemarin. Ia sekarang ingin ikut campur hubunganku dengan Hafiz. Aku tidak akan mengizinkannya.
"Aku harus ke kantor sekarang." kataku saat ia tidak menjawab. "Sampai jumpa di kelas."
Baru berjalan dua langkah, Bagas berteriak, "Tunggu!"
Aku memilih untuk tidak berhenti hanya untuk pertanyaan konyolnya, jadi aku menutup telingaku dengan menyanyikan sebuah lagu.
Tapi ia tidak berhenti. Ia mengikutiku, dan menarik lenganku hingga berkas-berkas di tanganku berjatuhan.
Aku ingin meneriakinya, tapi ia mendahuluiku.
"Kau berubah." katanya.
Aku merasa sangat marah sampai aku merasakan wajahku yang memanas. "Kau bahkan tidak mengenalku."
Ia menggeleng. "Kau berubah sejak dekat dengannya."
Aku tahu yang ia maksud "nya" adalah Hafiz. Aku merasa lebih marah lagi karena menyadari berkas-berkas yang kubawa tadi sudah berantakan di lantai, kertas-kertas bersebaran di mana-mana.
"Kau tidak mengenalku." kataku lagi.
Aku berjalan pergi, dan berharap Bagas membereskan berkas-berkas yang telah diberantakinya.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
"Hafiz sedang di kantor guru, katanya mengantar berkas-berkas kelas." jawab Ainaya.
Aku menghela nafas dan menggumamkan ucapan terima kasih. Ia mengangguk dan berlalu pulang.
Aku ingin menunggu Hafiz, tapi aku sudah janji dengan ibu akan pulang dengan cepat hari ini. Aku tidak tahu kenapa. Ibu tiba-tiba saja meminta, seperti ada suatu hal yang mendesak.
Aku berlari kecil ke gerbang sekolah dan mengedarkan pandangan. Tidak ada mobil jazz kuning dengan supir brewokan di dalamnya.
Aku siap menelpon Om Hendri saat mataku menatap mobil yang familiar. Mobil bermerk Freed putih terparkir tidak jauh dari gerbang sekolah.
Aku menyipitkan mata dan membaca plat nomornya, yang sudah kuhafal di luar kepalaku.
Aku masuk kembali ke dalam sekolah, mencari sosok ibu. Itu adalah mobil pribadi ibuku, jadi pasti ibu ada di sekolahku sekarang.
Saat aku akan berlari ke dalam kelas, aku mendengar pintu kantor kepala sekolah terbuka. Ibu keluar diikuti Pak Syahrul, kepala sekolahku.
"Ya, saya rasa juga begitu." kata Pak Syahrul.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
RomansaHari pertama masuk SMA, Soraya benar-benar gugup. Sekolahnya terlihat sangat elite dan sangat jelas yang bersekolah disini adalah anak-anak yang high class. Pertemuannya dengan anak lelaki yang sekelas dengannya, membuat hidupnya berubah. Soraya tid...