Bab 2

826 45 1
                                    

Jantungku berdetak tak karuan. Aku menunduk, menatap tanah agar dia tidak bisa melihat pipiku yang lagi-lagi merona. Aku mengangguk gugup, sambil terus menunduk.

Tangan kirinya memegang pundakku sebentar, lalu ia melepaskannya. Itulah yang aku takutkan. Aku takut, jika aku jatuh cinta padanya, ia akan memegangku sekuat mungkin, lalu tiba-tiba melepaskanku. Mencampakkanku. Aku tidak ingin itu terjadi.

Dia mulai berjalan, yang berarti tanganku ikut terseret olehnya. Tapi aku tidak melangkah, aku terus menunduk menatap tanah. Setelah apa yang dia lakukan tadi di sekolah, mungkin ia memang berniat menggenggam lalu melepaskan tanganku begitu saja.

Aku bisa merasakan ia berhenti berjalan, dan menatapku bingung. "Ada apa?" Aku bisa mendengarkan nada khawatir di dalamnya. Aku melepaskan genggaman tangannya dengan berpura-pura kedinginan, memeluk tubuhku dengan kedua tanganku.

Aku menatapnya. "Aku tidak enak badan, bisa kau antarkan aku pulang?" tanyaku. Dan aku memang tidak berbohong kalau aku tidak enak badan. Aku benar-benar merasa mual saat berpikir dia akan segera mencampakkanku.

Matanya menatapku lekat-lekat. Ia berusaha menyembunyikannya, tapi aku bisa melihat kilasan tatapan kecewa di mata coklatnya.

Ia memegang kedua lenganku dan membimbingku menuju mobil. "Ya, tentu saja." jawabnya saat berjalan. Ia berusaha menutupinya, tapi aku masih bisa menangkap nada kecewa dalam suaranya.

Saat di mobil, ternyata aku merasa benar-benar kedinginan. Hafiz yang mengetahui hal itu, membuka jaket yang dipakainya, lalu menyelimutiku dengan itu. Aku tidak boleh jatuh cinta, kataku dengan keras di dalam hati.

"Ah, bisa kau tunjukkan alamat rumahmu?" Tanya Hafiz. Aku mengangguk, lalu menyebutkan alamat rumahku pada Pak Supir. Ia mengangguk setelah mengerti. Aku merasa sangat lelah hari ini. Lelah dengan semua yang terjadi. Aku masih tidak bisa menyusun puzzle-ku hari ini. Lambat laun, semuanya menjadi gelap.

Sesuatu mengguncang bahuku pelan. "Kita sudah sampai." ujar suara lembut, tapi tegas, dan juga maskulin. Aku penasaran siapa pemilik suara indah itu, jadi aku membuka mataku pelan-pelan.

Wajah pemiliknya ternyata juga tampan. Hafiz mengelus lenganku. "Raya?" panggilnya. Aku menatapnya, heran. Baru kali ini ia memanggil namaku dengan benar. "Kita sudah sampai?" tanyaku pelan. Ia menangguk. "Benar itu rumahmu?" Ia melihat ke kiri, dan aku mengikuti arah pandangannya. Aku mengangguk padanya, lalu menyangking tasku dan turun dari mobil.

Ia mengantarku sampai ke depan pintu gerbang. Sebelum aku masuk, aku berbalik menghadapnya. "Terima kasih sudah mengantarku." ucapku dengan seulas senyum.

Ia mengangguk dan mengacak rambutku pelan. "Kau bisa mengandalkanku kapan saja, nona. Sekarang istirahatlah." ia kembali memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Aku mengangguk, lalu kembali berjalan mendekati gerbang.

Terlihat para pengawal sudah siap membukakan gerbang untukku. Aku berbalik sebentar, masih ingin melihat wajahnya. Ia mengangkat kedua alis, dengan tatapan, "Kenapa?" Aku tersenyum, dan melambaikan tangan.

Ia ikut balas melambaikan tangan, dan aku masuk ke dalam rumah. Aku berbalik melihatnya dan mendapati ia mengepalkan tangan kanannya, lalu meninjukannya ke udara sambil berteriak "Whoo!" Diikuti kata-kata seperti "Yes" atau "Ya", aku tidak tahu.

Aku tersenyum kecil dan melangkahkan kakiku memasuki rumah. Aku tidak melihat Ayah atau Ibu di dalam, jadi aku langsung menaiki tangga menuju kamarku. Sesampainya, aku merebahkan tubuhku di ranjang.

Dan tiba-tiba aku merasa sangat lapar, dan lambungku sedikit perih. Ibu akan marah sekali jika ia tahu aku tidak menjaga pola makanku dan maagku kambuh. Aku mengangkat gagang telepon di laci di sebelah kanan ranjangku, dan menekan angka 5, yaitu dapur. Terdengar suara Bibi dari telepon, "Ada apa, nona?" tanyanya. Aku memikirkan apa yang ingin kumakan sekarang. "Tolong buatkan aku bubur ayam lalu bawa ke kamarku. Oh, dan juga obat maag."

A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang