Bab 5

639 44 5
                                    

Apa aku salah dengar? Pikirku.
Bagas, sahabatku sendiri?

Saat pulang sekolah, Raya menjauhiku. Bagas dan Clarissa selalu berada di dekatnya, seakan-akan menghalangiku untuk mendekat.

Aku berdiri di ujung tangga, melihat Bagas menghampiri Raya dan Clarissa yang entah kapan sudah berdiri di depan kelas. Raya terlihat pucat. Matanya menatap mataku, lalu segera mengalihkannya ke Bagas saat ia bicara padanya.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Raya mengangguk dan mereka berjalan ke arahku. Yah, lebih tepatnya, melewatiku.

Matanya menangkap mataku sekali lagi, tapi bukan dengan tatapan hangat dan nyaman seperti biasanya, ia menatapku dengan dingin.

Aku menatapnya sedih. Kuharap ia mengerti tatapanku yang sekarang menatapnya sedih, memohon untuk tidak meninggalkanku.

---------

Sungguh aku ingin.
Aku ingin berhenti berjalan, mengusir Bagas dan Rissa yang berada di sebelah kiri dan kananku, lalu langsung berlari memeluk Hafiz.

Tapi mengingat melihatnya berpegangan dengan Sindi tadi pagi membuatku marah dan lelah. Bagas dan Rissa mengajakku ke suatu taman, hanya untuk menjernihkan pikiran.

Aku merasa bersalah tidak mengajak Hafiz. Saat akan menyebrang menuju mobilku, aku menahan Bagas dan Rissa. Mereka serentak menoleh ke arahku.

"Apa kita benar-benar tidak akan mengajak Hafiz?" tanyaku.

Bagas menatapku sebal. Ya, sebal. Aku tidak tahu kenapa, dan aku sedang tidak mau tahu.

"Tapi aku kan mengajakmu kesana agar tidak memikirkan dia," kata Bagas sambil menunjuk Hafiz di belakangnya, berjalan ke arah kami.

Aku mulai merasa kesal dengan Bagas.

Kenapa malah dia yang mengaturku?

"Tapi aku ingin mengajaknya." lawanku.

Bagas akan memprotes, tapi aku memotong, "Dan aku akan pergi hanya berdua dengannya." Bagas mengerutkan alis. "Silahkan kalian berdua jalan sendiri."

Aku langsung berjalan ke arah Hafiz. Ia menghentikan langkahnya. Segera kulingkarkan kedua tanganku di tangan kanannya. Aku tidak bisa menahan senyum, tapi aku harus tetap memasang wajah dingin.

"Ada apa?" Ia menggeleng, menyadari pertanyaannya sungguh konyol. "Kau tidak marah lagi padaku?"

Senyumku langsung kugantikan dengan wajah dingin. "Tentu saja masih."

Senang rasanya bisa berada di dekatmu lagi.

"Kau tidak akan mengajakku kemana-mana?" tanyaku sok manja.

Ia terkekeh. "Aku akan mengajakmu ke suatu tempat istimewa," katanya. "Dan menjelaskan semuanya."

Pipiku memanas.

Kami memang belum pacaran, dan aku memang belum siap. Aku belum bisa melupakan kisahku sebelumnya. Aku takut kisah itu akan terulang kembali. Tapi kupikir, Hafiz berbeda.

Aku berpesan pada supirku, Om Hendri, untuk langsung jalan ke rumah karena aku akan pergi dengan Hafiz.

Setelah memasuki mobil fortuner warna hitam milik Hafiz, aku tidak lupa menelpon Ayah.

Hafiz mendengarkannya dengan seksama, sampai-sampai Hafiz menempelkan telinganya ke belakang ponselku.

"Halo, Yah. Aku izin pergi bersama teman hari ini, boleh ya?"

"Tentu saja tidak akan lebih dari jam 9 malam." ucapku terkekeh.

"Um... Sebenarnya dia teman laki-laki, Yah." kataku sambil menatap Hafiz.

A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang