"Bibi!" teriakku. Aku melempar sepatu sekolah ke sembarang arah. Kulepas ikatan rambutku dan melingkarkannya di pergelangan tangan.
Aku tidak pernah merasa se-terburu-buru ini sebelumnya. Aku tidak sabar untuk mendengar cerita Hafiz, karena ia tidak biasanya bercerita.
Bibi datang dengan sedikit berlari. "Ya, Nona?"
"Tolong panaskan macaroni schotel semalam dan bawa ke kamarku ya."
"Baik, Nona." Bibi kembali ke dapur.
Di belakangku, ibu bertanya, "Kenapa harus makan di kamar?"
Aku nyengir. "Kalau nyemil di kamar saja ya bu."
"Loh, jadi makan satu mangkuk macaroni schotel itu nyemil?"
"Yah, bagiku itu camilan bu."
"Pantas saja kamu gendut, nak." Kata ibu sambil menggelengkan kepala.
Aku terkikik, berlari menaiki tangga menuju kamarku.
Kulepaskan dasi dan ikat pinggangku sambil menekan tombol call pada kontak Hafiz.
"Jadi tadi mau cerita apa?" tanyaku setelah tersambung dengan Hafiz di seberang sana.
"Kau sudah sampai rumah?"
"Ya, jadi,"
"Sudah makan?"
"Bibi sedang memanaskan macaroni schotel untukku, nah, tadi,"
"Sudah ganti baju?"
"Hafiz!" Teriakku kesal.
Aku tahu ia sengaja mempermainkanku. Hafiz tertawa terbahak-bahak, sedangkan aku berusaha untuk tidak tersenyum karena tingkah konyolnya walaupun aku benar-benar merasa kesal.
"Nah," ucapnya setelah ketawanya mereda. "Tadi pagi Bagas mengajakku bicara."
Badanku menegang hanya karena mendengar nama Bagas disebut. Aku tidak menyukainya, dan sekarang aku mulai merasa takut padanya.
"Ia bilang padaku untuk, yah,"
Aku bisa mendengar Hafiz mengumpat di sana dan terdiam. Mungkin ia juga sedang menggigit bibir bawahnya.
Aku bertanya-tanya kenapa ia sampai ragu untuk mengatakannya. "Dia bilang apa?" tanyaku, hampir mirip dengan suara cicitan tikus.
Aku berdeham untuk menjernihkan tenggorokanku.
"Dia bilang aku harus menjauhimu."
"Kenapa?"
"Ia bilang ia tidak suka padaku."
"Apa? Itu tidak masuk akal."
"Aku tahu, tapi bukan itu saja alasannya."
"Lalu apa?"
"Ia juga," Hafiz menelan ludah, sepertinya. "Menyukaimu."
Mulutku menganga. Pandanganku lurus ke depan, menatap dinding penuh dengan lukisan-lukisanku. Suatu saat, aku akan melukis Hafiz dan menggantungnya di sana.
"Tapi bagaimana bisa..." aku bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatku.
Hafiz menghela nafas.
"Tapi bukan berarti kita tidak bisa saling, kau tahu," aku ragu untuk menyebut kata "mencintai", karena kami pun belum pacaran.
"Aku tahu." katanya. "Tapi ia mengancamku."
Jantungku makin berdetak dengan cepat. Walaupun aku sangat takut, aku mencoba membuat lelucon.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
RomanceHari pertama masuk SMA, Soraya benar-benar gugup. Sekolahnya terlihat sangat elite dan sangat jelas yang bersekolah disini adalah anak-anak yang high class. Pertemuannya dengan anak lelaki yang sekelas dengannya, membuat hidupnya berubah. Soraya tid...