Aku pulang dengan senyum yang merekah di wajahku. Kutatap lagi cincin yang melingkar di jari manis tangan kananku sambil senyam-senyum.
Aku belum pernah membayangkan kisah cintaku akan semenakjub ini. Kuharap aku dan Hafiz tidak akan pernah putus. Amin.
Aku membuka pintu depan rumahku sambil melepas high heels putih yang kupakai. "Ibu, aku pulang."
Kujinjing sepatuku dengan tangan kanan sambil berjalan masuk lebih dalam. Kenapa sepi sekali? "Bibi?" Panggilku.
PLAK!
Suara seperti tamparan tersebut membuatku terkejut. Badanku yang berjalan ke depan sontak berhenti. Aku buru-buru membuka pintu menuju ruang tamu. Bisa kudengar samar-samar suara teriakan seseorang.
"... denganmu lagi!" Teriak Ibu. Wajah Ibu sangat menakutkan, dan juga sangat menyedihkan. Ia berdiri sambil menunjuk Ayah yang memegang pipinya setelah ditampar Ibu. Mata Ibu sangat merah, air mata mengalir deras. "Aku muak denganmu."
Aku terdiam dengan mulut mengaga.Tangisku rasanya ingin pecah melihat Ayah dan Ibu bertengkar. Tapi aku tidak ingin menambah masalah, jadi aku hanya berdiri di sana, di sudut ruangan, sampai Rafi datang.
"Raya?" Ia memegang bahuku. Karena aku tidak merespons, ia mulai mengguncangnya. Tatapanku masih lurus ke arah Ibu dan Ayah. "Masuk ke kamarmu, kau tidak perlu melihat ini."
Aku mulai menatap Rafi. Dadaku rasanya sesak melihat keluargaku lama-kelamaan hancur. Setelah Hafiz membuatku berbunga-bunga, sekarang Ibu dan Ayah bertengkar.
"Lalu kenapa mereka melakukannya?" Aku menunjuk Ayah dan Ibu. Tangisku mulai pecah. Ayah dan Ibu sama sekali tidak merasa terganggu. Mereka masih berteriak saling menyalahkan. "Kenapa, Rafi?"
Rafi menatapku dengan tatapan merasa bersalah. Aku ingin minta maaf, tapi tidak bisa. Air mataku sudah tidak terbendung lagi.
Ia memelukku. Pelukannya sangat erat, seperti membagi kekuatannya padaku. Aku menangis dengan sangat, sangat kencang, sampai suara teriakan Ibu dan Ayah berhenti. Mungkin mereka berhenti karena aku.
Ibu menghampiriku, sedangkan Ayah berjalan ke kamarnya. Rafi masih memeluk sambil mengelus punggungku dengan sabar.
"Masuk ke kamarmu." Kata Ibu, entah kepada siapa.
Tangisku makin liar. Ibu mengucapkan itu seakan-akan ia sama sekali tidak bersalah. Seakan-akan tangisku bukan karenanya. Aku tidak suka.
"Kalian berdua, berhentilah!" Bentak Rafi, suaranya bergetar. Ia sesenggukan sekali. Ternyata Rafi juga merasakan apa yang kurasa, hanya saja ia menahannya. "Kalian harusnya malu. Tidakkah kalian sadar?"
Aku tidak tahu bagaimana reaksi Ibu. Ayah, yang baru membuka pintu kamarnya, kembali menutupnya dan berjalan ke arah kami. "Apa kau bilang?" Teriaknya.
Suaranya sangat mengerikan. Lebih mirip suara beruang marah daripada manusia. Ayah menarikku menjauhi Rafi dan menarik Rafi ke arahnya. "Apa kau bilang?!" Teriaknya lagi.
Tangan Ayah mulai mengayun ke arah pipi Rafi. Ibu berteriak. Aku segera berlari ke depan Rafi, melindunginya. Di saat itulah tangan Ayah pas mengenai pipiku.
Entah karena pukulan Ayah yang kuat atau badanku yang lemah, aku jatuh terduduk. Pipiku terasa panas dan perih. Aku memegangnya sambil berusaha menahan tangisku. Aku lemah. Aku sangat lemah.
Aku yakin besok pipiku akan berwarna ungu atau hijau. Tidak kusangka Ayah akan berbuat begini pada Rafi.
"Dad..." Kataku menahan tangis dan rasa sakit. "You are such a devil." Mungkin ibu dan kakak tidak mendengarnya, tapi aku yakin Ayah mendengarnya Karena jaraknya denganku cukup dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
RomanceHari pertama masuk SMA, Soraya benar-benar gugup. Sekolahnya terlihat sangat elite dan sangat jelas yang bersekolah disini adalah anak-anak yang high class. Pertemuannya dengan anak lelaki yang sekelas dengannya, membuat hidupnya berubah. Soraya tid...