xi. setitik harapan

101 56 11
                                    

Bau alkohol begitu menusuk hidung sejak ia melewati pintu utama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bau alkohol begitu menusuk hidung sejak ia melewati pintu utama. Di dalam gelapnya ruang keluarga dengan remang-remang cahaya dari layar televisi pada malam ini, Bian memejamkan mata sejenak tatkala Ayahnya masih terjaga, pria itu terduduk di sofa sembari menegak Wiski yang Bian sendiri tidak tahu jenisnya apa. Tidak biasanya pria itu sudah pulang, bahkan Bian pikir Ayahnya itu sudah lupa jalan pulang, sudah lupa kalau sebenarnya punya rumah di komplek perumahan elit. Sebab biasanya sehabis lembur kerja, Ayahnya itu akan menginap di rumah pacar barunya. Maka Bian sempat keheranan sebelum pada akhirnya ia menghela napas.

Tatkala sepasang netranya melirik pada tiga botol Wiski di atas meja, Bian menggeleng miris. Ia tidak mengerti dengan gaya minum sok mahal itu. Padahal kalau mau mabuk-mabukkan, ia sudah pernah menyarani untuk beli Tuak saja, kalau memang tidak cocok beli saja Bintang. Semudah itu, akan tetapi endingnya justru ia mendapat tempelengan bagai kecupan kasih sayang.

"Dijebol berapa orang kamu?"

Bian memutar bola mata jengah. "Gue bukan pelacur," ujarnya.

PRANG!

Sebotol Wiski kosong menghantam lemari berbahan kaca di belakangnya, beberapa figura anime koleksi Renan telah berjatuhan tertimpa puing-puing pecahan lemari tersebut. Bian hanya dapat menutup mata sejenak, rasa sesak mulai menghantam dada. Menyesali keputusan untuk pulang, tahu begini tadi ia menginap saja di rumah Ransa.

"Dapat duit berapa?"

Lagi-lagi pertanyaan itu, bibirnya menyungging miris. Sekotor itu kah harga dirinya di mata pria bernama Seno? Jangankan di mata Seno, di sekitar komplek pun Bian dianggap seperti perempuan gak benar. Pelacur, jual diri, simpanan om-om. Banyak sekali sebutan ngasal untuknya. Tapi Bian tidak peduli, malas juga klarifikasi untuk hal yang sebenarnya tak perlu diklarifikasi. Biarlah orang-orang menilainya sesuka hati, mau dikatakan yang sebenarnya pun juga percuma.

"Dibilang gue gak jual diri." Perkataan Bian berhasil membuat Seno melangkahkan kaki mendekat meski tampak sempoyongan. Pria itu meraih sebotol Wiski yang masih tersegel, digenggamnya begitu erat entah untuk hal apa.

Melihat hal itu, firasat Bian benar-benar tidak enak. Takut adalah naluri alaminya saat ini.

Atmosfer kian dingin, Bian ingat betul saat pertama kali merasakan atmosfer seperti ini di antara dirinya dan Seno. Saat itu ketika Seno sedang kepalang mabuk, pria itu menenggelamkan kepalanya di kolam ikan, beruntunglah ada Renan yang segera menolongnya dari kebiadaban Ayahnya itu. Ia menangis begitu keras lantaran kesulitan bernapas, ditenangi oleh Renan sebagai gantinya. Anak berusia delapan tahun Seno tenggelamkan begitu kejamnya, memang sudah gila Seno. Bahkan Renan pun tidak habis pikir dengan tindakan Ayahnya.

Namun di balik itu semua, sebab perihal kematian Ratih membuat Seno hampir gila. Kematian wanita itu benar-benar membuat Seno kembali kesetelan pabrik. Hari-hari Seno dihabiskan bekerja, bekerja, dan bermain wanita. Mabuk sudah menjadi rutinitas, tidak tahu sudah semenjerit apa organ-organ tubuhnya lantaran saban hari dicekoki alkohol berharga jutaan itu.

"NGGAK PUAS KAMU AMBIL RATIH DARI SAYA?! SEKARANG MEMPERMALUKAN SAYA DI DEPAN ORANG-ORANG? DAPAT BERAPA DUIT KAMU HASIL JUAL DIRI?!!"

Di dalam kemarahan Seno, terdapat sekelebat siluet Ratih, wanita yang teramat dicintainya. Bagi Seno, andai saat itu Ratih tidak bersikeras mempertahankan Bian, mungkin saat ini dengan keluarga kecilnya tengah diliputi harsa tiada tara. Keberadaan Bian benar-benar tidak diinginkan dalam hidup pria itu, sebab apa gunanya Bian ada di dunia ini tetapi tidak ada Ratih di dalamnya.

Padahal Bian pun tidak pernah meminta untuk dilahirkan, Bian juga tidak pernah merengek pada Ratih untuk menukar nyawanya. Sebenarnya apa yang Ibunya itu perjuangkan?

Saat pertama kali datang ke rumah Juniar, Bian merasa sedikit iri pada kehangatan keluarga Juniar. Mamanya begitu baik, Papanya juga. Kalau Bian pikir-pikir, pantas saja Ivana betah berada di dekat Juniar, keluarga lelaki itu benar-benar definisi cemara yang sesungguhnya. Terkadang setitik harapan Bian menyeruak, bisakah ia mendapatkan kasih sayang seperti yang Juniar dapatkan dalam keluarganya?

"ANAK SIALAN! MUAK SEKALI SAYA LIHAT WAJAH KAMU ITU!"

Sementara Bian menunduk, tidak berani menatap sepasang netra yang tengah murka. Rasa takut kian menyusup dalam kalbunya, takut kalau kejadian yang sama terulang kembali. Pasalnya, Seno adalah pria yang nekat, semua tahu akan hal itu. Maka alasan Bian mengikuti segala jenis bela diri adalah sebagai perlindungan tatkala menghadapi Ayahnya. Tetapi, tidak tahu kenapa mau sekuat apapun hasil latihannya selama ini, kalau sudah menyangkut Seno yang mabuk, nyalinya terkadang menciut.

Pria itu kemudian mengusap wajah kasar, amarah pun berangsur mereda, tetapi pandangan Seno mulai menggelap.

"Kenapa nggak dari dulu saja saya bunuh kamu?"

Setelah mendengar perkataan yang meluncur dari bibir Seno, semua menjadi gelap. Kepala Bian perih sekali, ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi berikutnya ketika sepasang matanya benar-benar telah terpejam. Semerbak aroma Wiski begitu menusuk hidung, menetes bersamaan anyirnya darah dari pangkal dahi menuju ceruk lehernya. Ia terkapar tak berdaya.

Sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, benaknya ribut sekali. Setetes lara meluncur dari sudut matanya, Bian menangis. Buliran pilu itu menyatu dengan pekatnya darah. Memori-memori lama pun terbuka kembali bagai roll film yang telah terurai. Dari mulai kenangannya bersama Glen dan Nota, partner rasa sakit tempatnya mengadu nasib, lalu canda tawa bersama anak-anak Landscape dan Ransa, hari-hari bergosip dengan Mas Rumi, sampai kenangan indahnya bersama Juniar di pasar malam dua tahun yang lalu. Cinta monyet yang bersemi pertama kali ketika Bian mengajak Juniar naik bianglala. Begitu indah untuk diingat, memberikan setidaknya harapan bahwa kala itu Bian merasa berhak untuk disayang.

HIMPUNAN RASA

Pendek kan wkwk
Btw jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak berupa vote dan komen!

See yaw!

Himpunan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang