Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Muak menghirup aroma khas obat-obatan yang membuat kepalanya dilanda pening bukan main, Glen terduduk seorang diri di bangku taman kecil dekat UGD. Semilir angin pun telah menerpa kulitnya, sudah dua jam sejak Glen menginjakkan kaki di rumah sakit, namun Dion tak kunjung sadarkan diri. Kata Hans, lelaki itu mengalami patah tulang rusuk lantaran dijejak habis-habisan, membayangkan bagaimana Dion dikeroyok saja sudah membuatnya kepalang emosi.
Lidah Glen sedari tadi terasa kelu tatkala dering ponsel tak henti-hentinya menyahut, panggilan dari sosok kepala keluarga Senandika adalah hal yang paling ia hindari. Sebab pria tua itu pasti akan mencaci makinya atas ketidak becusan menjaga Dion dan Hans.
Lalu apakah ini semua lagi-lagi salahnya? Glen mengacak surainya makin frustasi, tidak tahu dengan cara apa lagi semesta akan mempermainkan masa mudanya.
Ketika sepasang netranya menghilir dalam nestapa, sosok Hans tiba-tiba saja datang menghampiri. Dada lelaki itu naik turun, sepertinya berlarian di sekitar rumah sakit lantaran mencari dirinya.
Keheningan di antara keduanya pun terjadi, hanya suara jangkrik yang menengahi. Tak ada yang melempar sepatah kata, entah gengsi atau memang kelu untuk berbicara. Hans hanya menunduk begitu dalam, alih-alih mengucap kata maaf meski hanya sekadar basa-basi belaka. Kalau sudah begini, rasa-rasanya Glen ingin menghajar pemuda itu hingga rintihan memohon ampun terdengar. Kendati demikian membuang pikiran setannya, helaan napas Glen keluar begitu saja, seketika membuat Hans mendongakkan kepala.
"Mending lu minggir, gua masih emosi." Glen berkata sabar tatkala sepasang netra keduanya bertemu.
"Bang, gua minta maaf."
Perkataan yang meluncur dari bibir pemuda itu membuat Glen mengernyit. Ini adalah pertama kali Hans mengucap maaf padanya, ucapan yang sebenarnya sejak awal tak ia ekspetasikan.
Setitik penyesalan bergelimang dalam sepasang netra legam milik Hans. "Andai gua gak cari masalah sama anak Nusa Bangsa dan gak jadi pengecut sampai Dion harus berkorban buat gua, mungkin dia sekarang masih baik-baik aja. Gua minta maaf," sesalnya kemudian.
Glen pikir dengan Hans meminta maaf seperti ini amarahnya akan mereda, tapi entah kenapa justru semakin meledak-ledak. Padahal Hans sudah berani mengakui kesalahannya, Glen benar-benar tak mengerti. Adalah reflek ketika tangannya menarik kerah Hans, membuat keduanya beradu pandang dengan ia memandang Hans sengit.
"Maaf lo itu bisa ngembaliin Dion gak?"
Hans tak bergeming, tetapi juga dia tak membalas cengkeraman Glen, meski tenggorokannya terasa tercekat. "Bang, Dion belum mati."
Belum sempat menghindar, bogeman mentah mendarat tepat pada pipinya. Sisa bogeman Nota tadi saja masih terasa nyeri, namun sudah ditambah kembali.
"Lo yang gue matiin!"
Hans kali ini hanya bisa terdiam seribu bahasa. Biasanya kalau merasa dirinya gak bersalah, Hans nekat membalas bogeman Glen seperti yang sudah biasa terjadi. Kalau sudah begini artinya Hans sadar bahwa ini semua memang kesalahannya. Perihal pengorbanan Dion menggantikannya dikeroyok oleh anak SMA Nusa Bangsa, dan perihal dia kabur menjadi pengecut meninggalkan Dion tersiksa seorang diri.
"Gua ini juga mau nikmatin masa sekolah tanpa mikirin lu sama Dion, tanpa mikirin gimana caranya lu pada gak terluka gara-gara pergaulan, tanpa mikirin gimana caranya gua bisa gantiin posisi Bang Idam! Jangan jadi kayak gua tolol!"
"Gua minta maaf," Kepala Hans semakin menunduk. Bibirnya gemetar, rasa sesal benar-benar telah menguasai atmanya.
Sekarang pun tak apa kalau harus babak belur di tangan Glen. Hans sudah mempersiapkan resikonya, kalau perlu membuatnya sekarat seperti halnya Dion, biar impas sekalian. Tapi, apa yang sebenarnya Hans harapkan? Meski Glen demen baku hantam, kalau sudah menyangkut saudaranya, lelaki itu tak pernah tega. Babak belur memang, namun tidak begitu parah.
Glen tak pernah serius melawan adik-adiknya.
Semata-mata hanya sebagai bentuk peringatan lantaran dibicarakan baik-baik lewat mulut pun gak ada gunanya. Biarlah dikata buah jatuh gak jauh dari pohonnya, gak perlu tes DNA juga memang betul kalau Glen anak kandung Heru Senandika yang demennya baku hantam.
"Lanjutin, mumpung lagi di rumah sakit. Kalau ada yang sekarat gak ngerepotin."
Suara Bian mengisi sepasang indra pendengaran, gadis itu sudah berdiri di belakang Glen sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada, sementara di sebelahnya ada Nota yang berseri muka sepat.
"Perlu bantuan gak?" tawar Nota seraya menggulung hoodienya setakat sebatas siku.
Alih-alih merasa terprovokasi, Glen menyudahi dengan menempeleng kepala Hans. Gak terlalu kuat sampai-sampai Hans heran motif tempelengan ini apa?
"Ngapain nyusul?" Glen melontarkan pertanyaan pada dua sohibnya itu.
Bian menarik napas, menyodorkan sebotol pocari dingin yang sempat ia beli di warung dekat rumah sakit. Helaan napas keluar begitu Glen meraih pocari tersebut, duduk menyilangkan kaki di bangku taman sembari mengeluarkan sekotak rokok dari saku celana, kemudian Bian memantik sebatang rokoknya.
"Gak cuma lo, Dion juga udah kayak saudara buat gue sama Nota. Wajar kalau kita khawatir, wajar juga kalau kita emosi waktu denger Dion dikeroyok gara-gara gantiin Hans," jelas Bian.
Glen terdiam, enggan merespon. Kendati demikian tangannya terulur pada Hans, hendak membantu pemuda itu supaya berdiri. Meninggalkan rasa gengsi, Hans menerima uluran tangan dari Glen sembari memegangi pipinya yang terasa amat nyeri.
"Minta maaf sama Dion, jelasin ke Papa. Gak usah playing victim, kalaudihajar Papa ya terima aja."
Ada jeda sejenak, Glen merampas rokok dari bibir ranum Bian. Menginjakknya sebelum membuang ke dalam kotak sampah di samping bangku taman, tanpa mengalihkan pandangan dari Hans. "Bukan berarti gue maafin atas kelakuan pencecut lo," lanjutnya.
Bian hanya mendengus kesal. Glen memang seperti ini, seenaknya. Tapi sebenarnya, lelaki itu sedang menunjukkan rasa kepedulian meski selalu saja melalui tindakan alih-alih bicara terlebih dahulu. Kini lelaki itu sedikit menjauh dari mereka, mengangkat sebuah panggilan dari sosok Mama tiri.
Sementara Nota berdecak saat netranya bertemu dengan netra milik Hans. Bohong kalau ia tidak merasa kesal pada Hans, walau begitu Nota juga tetap merasa bersalah atas bogeman yang mendarat pada pipi pemuda itu, terlebih kejadian itu di antara banyak pasang mata menonton.
"Pulang, gue anterin. Besok sekolah," kata Nota.
Hans mengernyit, tapi kemudian mengangguk menuruti. Sudah lelah juga, setidaknya malam ini ia ingin beristirahat sebelum menghadapi puluhan amarah dari kedua orang tuanya.
"Bi, balik gak?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Nota, Bian menggeleng. "Nanti, duluan aja."
"Seriusan? Tugas matematika wajib?" Nota bertanya dengan dahi mengerut.
Mengambil benda persegi panjang dari dalam saku celananya, Bian mengintip jam menunjukkan pukul 11 malam dari lockscreen. "Mungkin bentar lagi balik, tugas gue aman sih. Lo kalau mau nyontek, fotonya ada di Auven. Minta aja," ujarnya.
"Lah? Tumben udah?"
Bian lagi-lagi mendengus, agaknya Nota sedang meremehkannya. Mentang-mentang ia jam tidurnya gak teratur, dikira tugas-tugas sekolahnya ikut ngelantur. Nasib beda kelas, Nota sering suudzon pada Bian kalau gadis ini mengikuti jejak Mas Rumi yang datang sekolah sekadar menampakkan diri. Padahal begini-begini juga, Bian termasuk siswi yang gak cuma rajin di kelasnya, tapi juga termasuk pintar.
"Tadi pulang sekolah, gue langsung ngerjain sama Glen," kata Bian.
Bagai kejutan, Nota membeliakkan mata. Baru tahu kalau Bian bisa sedikit kelihatan ambis.