Indurasmi malam ini begitu elok dipandang. Tak cukup-cukup adorasi semesta menciptakan bongkahan lara, Glen menghembuskan kepulan asap rokoknya ke hamparan luas langit-langit kota.
"Kalau Ivana meninggal, dia minta balikan."
Glen mengacak surai frustasi, kalimat itu masih membekas dalam benaknya. Tidak habis pikir lantaran sosok Juniar akan berkata sedemikian sampahnya pada Bian, dan semakin tidak habis pikir lantaran Bian galau hanya sebab perihal tawaran seperti itu.
"Juniar otaknya udah pindah ke kaki?"
Suara Bian memecah pikiran, gadis itu duduk di sampingnya sembari menggigit setusuk bakso bakar dengan surai tampak berantakan, meski angin malam ini tak begitu kencang. Kalau sudah tentang Juniar, Bian selalu melankolis. Perawakannya bagai depresi membuat ia menghela napas panjang.
"Gak usah dipikirin, Bi."
Mendengar hal itu pun, Bian lantas menggeleng, "Apa gue terima aja ya tawarannya? Menurut lo gimana?" tanya Bian.
Glen tersedak oleh salivanya sendiri, dahinya mengerut bingung. Ia tak salah dengar? Seorang Bian benar-benar telah menjadi budak cinta yang tololnya bukan main.
Maka toyoran mendarat pada kepala gadis itu. "Lo tanya menurut gue?" Glen menghela napas untuk kesekian kalinya, "Menurut gue, lo sama jahatnya kayak Juniar andaikata lo terima tawaran itu."
Bian termenung, sepasang netranya menatap hamparan luas langit malam kota. Kalbunya terasa begitu temaram, menguras atma sehingga menjadi gulana. Angkringan malam ini agak ramai dari biasanya, maka yang semula anak-anak Landscape hanya kumpul biasa untuk rehat sejenak dari bisingnya tugas sekolah, mendadak menjadi karyawannya Rumi.
Sedangkan apabila ditanya perihal dua jamet sok galau ini, keduanya mengatakan kalau malam ini hanya ingin menjadi pelanggan lantaran sok banyak pikiran. Bisingnya suara para konsumen lantas menjadikan teras kontrakan Rumi sebagai tempat mengadu nasib, ditemani sepiring bakaran pedas berisi sosis, bakso, dan cikuwa.
Kepalanya menoleh pada Glen, Bian membuat kontak mata lalu kembali melontarkan sebait pertanyaan, "Tapi kenapa gue jahat?"
"Emangnya gue penyebab kematian Ivana? Emangnya Ivana sakit gara-gara gue? Andaikata Ivana meninggal, salah gue kalau balikan sama Juniar?" Bian menambahi.
"Sejak kapan mulut lo sejahat ini, Bi?"
Bian menundukkan kepalanya, menggigiti bibir bawahnya dengan rasa gundah. Bohong kalau Bian tak ingin kembali pada Juniar, bohong kalau Bian sudah tak membutuhkan sosok Juniar. Di antara pergantian siang dan malam, Bian masih ingin menjalani hari-hari dengan sosok Juniar yang terdapat di dalamnya. Bersama-sama mengukir bait-bait aksara, membentuk untaian asmaraloka penuh harsa.
"Sejak awal yang bikin hubungan gue sama Juniar jadi kayak gini itu Ivana, liciknya dia jadiin penyakitnya sebagai alasan supaya Juniar mau ninggalin gue." Pecah sudah bendungan di kedua matanya, Bian menitikkan pelipur lara dengan kepala masih menunduk begitu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himpunan Rasa
Teen FictionRasa yang tak seharusnya tercipta. Dan mereka yang menyimpan beribu luka. Selamat datang di Himpunan Rasa!