iv. perkara sepatu

156 105 22
                                    

Ada yang pernah berkata, bahwa takdir tidak dapat diprediksi, suatu hal yang katanya dapat juga diubah apabila dibekali usaha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang pernah berkata, bahwa takdir tidak dapat diprediksi, suatu hal yang katanya dapat juga diubah apabila dibekali usaha. Kendati demikian, adapun takdir yang bersifat mutlak, ia benar-benar tak dapat diubah meski diminta ribuan atau bahkan jutaan kali.

Kematian. Berhentinya denyut jantung, dan keluarnya jiwa dari dalam tubuh, sebuah takdir mutlak yang telah digarisi pada awal diberinya kehidupan.

Faktanya tidak ada yang benar-benar menerima setelah ditinggalkan oleh orang terkasih, hanya ada rasa terpaksa berdalih ikhlas, begitu yang Glen dan Bian rasakan ketika mendengar kabar bahwa Aidam telah pergi untuk selamanya.

Sosok Aidam bagi Bian bukan hanya sekadar kakak dari sohibnya. Aidam selalu berperan layaknya seorang kakak untuknya, Aidam selalu menjadi sandaran terbaik dikala ia tengah luluh lantak. Begitulah Aidam dimatanya memiliki pribadi yang super baik, menjadikan lelaki itu sebagai tipe idealnya.

Pokoknya ia hanya mau laki-laki yang seperti Aidam!

"Aidam cuma satu, gak ada yang lainnya. Kalau mau yang kayak abang gue, minimal lo kayak Mbak Kiran."

Meski terdengar agak nyelekit, perkataan Glen ada benarnya. Definisi pasangan adalah cerminan dari diri sendiri, Kiran tidaklah jauh berbeda dari Aidam.

"Lagian Mbak Kiran itu definisi cewek tulen," Sembari nyemilin kacang garuda, Glen berujar sarkas.

Bian memicingkan mata, "Maksud lo gue cewek jadi-jadian?"

"Gue gak ngomong gitu lho ya, kalau lo sadar sendiri ya bagus."

Setelah mengatakan hal itu, esoknya Glen mengalami lebam dibeberapa bagian tubuhnya. Tidak perlu diceritakan secara rinci lagi, sebab itu sudah menjelaskan tentang apa yang dilakukan oleh Bian terhadap Glen.

Dan pagi hari ini ketika matahari telah terbit dari ufuk timur, teriknya seolah meneriaki sosok Bian yang tengah memanjat ring basket lantaran sebelah sepatunya tersangkut di atas sana.

"Lo beneran kayak bekantan lepas, Bi!"

Tersangka utamanya justru mencela, telinganya memerah padam lantaran menahan malu atas apa yang dilakukan oleh sohibnya.

"Turun, Bi. Malu-maluin anjir!"

Sementara Bian melirik sadis. Gadis itu tidak lagi peduli dengan banyaknya pasang mata yang tengah menonton, biarlah dikata panjat pinang di bulan November. Kalau saja Glen tidak merusak Sabtu bahagianya dengan menyangkutkan sebelah sepatu miliknya, mungkin Bian pun tidak perlu kurang kerjaan manjat-manjat layaknya seekor monyet.

"Turun Bianca, biar gue yang ambilin." Walaupun berkata demikian, nyatanya Glen berkata dengan seringai tipis di lekuk bibirnya.

"Bacot, minggir!" Bian berseru jengah.

Glen masih tetap mendongak meski bagaskara telah menusuk sepasang netra legamnya. Ia tak habis pikir, dikemanakan pula sisi feminim gadis itu. Padahal jika lebih kalem sedikit saja, sohibnya itu mungkin akan menjadi primadona sekolah. Sayang sekali Bian sudah terkontaminasi jiwa bapak-bapak.

Himpunan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang