Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bian termenung, bibirnya mengatup bingung. Rentetan untaian klausa penuh lara menghilir dalam keputus asaan. Entahlah kapan terakhir ia menitikkan bulir pilu, membasahi kemeja putih dengan lengan yang sengaja ia gulung hingga sebatas siku.
Redup harsanya tatkala motor scoopy kesayangannya telah dirampok oleh kakak laki-lakinya. Pertengkaran hebat sempat terjadi, baik adu mulut maupun adu mekanik memanasi pertengkaran kala itu. Bian kurang ngotot apa? Motor scoopy itu hasil tabungannya dari kecil, dan menjadi satu-satunya transportasi yang ia miliki. Namun justru direbut paksa oleh pria yang katanya kasihan kalau istrinya kerja kepanasan.
Peduli setan! Kalau istrinya kepanasan seharusnya lebih diusahakan dengan caranya sendiri, bukannya merampok begini!
"Bi, kenapa ga bilang kalau Renan dateng?" Glen melontarkan seutas pertanyaan dengan kedua tangannya berkutat pada surai Bian, hendak mengepangnya menjadi dua bagian katanya.
Memutar bola mata jengah, Bian menarik napasnya sembari mengusap jejak pelipur lara pada pipinya, "Faedahnya apa?"
"Bogeman lo ga kerasa ke Renan, badan gede gitu pasnya by one sama gue," Glen berujar sok iya diselingi toyoran geram pada kepala Bian.
Bian bergeming sejenak, melipat surat yang ditulis neneknya lalu memasukkan ke dalam saku celana. Wanita yang usianya sudah menyentuh 81 tahun itu kerap kali mengirimi surat, dengan uang tiga ratus ribu di dalamnya melalui perantara kakaknya. Biasanya isi suratnya selalu mengandung makna nestapa, terkadang membuat Bian tersentuh lara.
"Gak perlu dibahas, udah balik ke Jambi orangnya." Meski terdengar santai saat mengucapkan, sebenarnya dalam hati Bian menyumpah serapahi Renan, kakak laki-lakinya.
Bayangkan ketika punya sesuatu hasil menabung sejak bertahun-tahun lalu tetapi harus merelakan lantaran direbut paksa, siapa yang gak kesal?
Sudah ditampar realita pun masih saja Renan gak sadar diri, justru selalu menghalalkan segala cara demi memuaskan diri.
'Gue sumpahin mogok di jalan!'
"Jangan bilang ke siapa-siapa kalau gue nangis, sampai anak Landscape tau, abis lo sama gue." Bian berkata dengan nada mengancan.
Mendengar hal itu, Glen meringis. "Padahal gak apa, itu artinya lo normal. Tapi aman sih, buat apa juga gue bilang-bilang."
Adalah benar kata Glen, menangis itu normal. Siapapun berhak menangis, gak baik juga untuk kesehatan kalau ditahan-tahan.
'Gitu doang nangis.'
'Lebay lo!'
'Dikit-dikit nangis.'
'Udah besar kok nangis.'
Tapi faktanya, sejak kecil Bian terbiasa mendengar ungkapan seperti itu, sehingga membuat Bian tersugesti kalau menangis itu lemah. Kalau menangis itu artinya lebay. Kalau sudah beranjak dewasa itu gak boleh nangis, supaya gak kelihatan lemah. Dan yang lemah sering kali mudah ditindas, Bian enggan menjadi orang yang mudah ditindas, sebab dipandang remeh oleh orang lain itu benar-benar menyakitkan terlebih pandangan yang sok merasa kasihan.