12

564 57 6
                                    

Dohoon’s Journal, June 11, 2010.

Empat bulan berlalu sejak... yah, sejak saat itu. Aku bahkan tak tega untuk menulisnya di jurnalku. Atau mungkin aku takut sensasi itu akan kembali ketika aku menuliskannya? Sensasi di sekujur tubuhku ketika bibirku menyentuh bibirnya... Ah, sudahlah. Aku tak ingin berakhir dengan memainkan Hana’s Eyes yang terasa sangat menyedihkan itu malam ini.

Aku tersenyum kecil ketika menulis judul lagu itu tadi. Ya, lagu yang langsung tercipta secara otomatis di otakku setelah insiden empat bulan lalu. Aku membuat partiturnya hanya dalam waktu kurang dari dua jam, dan setelah aku menyelesaikan rangkaian not baloknya, judul yang langsung terlintas di kepalaku adalah His Eyes. Tapi aku tak mungkin menyerahkan judul itu ke Mr. Chan. Harga diriku tidak mengizinkannya.

Maka, setelah berpikir keras selama beberapa jam, Hana’s Eyes-lah yang kutetapkan menjadi judulnya. Lagu itu langsung terdengar di seantero JSA keesokan harinya, diputar silih berganti dengan lagu Blue Sky-ku selama jam istirahat berlangsung, setelah aku menyerahkan lagu itu ke Mr. Chan. Lagu yang sangat cocok dengan suasana hatiku selama empat bulan terakhir.

Empat bulan bukan waktu yang singkat, tapi empat bulan itu sama sekali tidak bisa membuatku menjawab semua pertanyaan yang bermunculan di benakku sejak hari itu. Oke, itu semua membuatku kesal, dan uring-uringan. Aku memang melampiaskannya dengan menciptakan banyak lagu sampai Mr. Chan sudah punya folder sendiri untuk lagu-laguku, tapi seperti kata beliau beberapa hari lalu, “Dohoon, tidak bisakah kau membuat lagu yang lebih ceria sedikit? Aku tahu kau agak emo, tapi nantinya orang-orang akan berpikir kalau kau adalah pianis patah hati, dimana lagu-lagunya hanya bisa dinikmati kalau kau sedang patah hati.”

Aku nyaris mematahkan ujung pensilku. Aku sangat emosional akhir-akhir ini.

Dan bukan hanya ketidaksanggupanku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku sendiri yang membuatku kesal. Perlakuan Shinyu padaku juga membuatku marah. Ia benar-benar menjaga jarak dariku setelah itu. Kami masih bercakap-cakap dan berkegiatan seperti biasa, seakan tidak terjadi apapun, tapi aku masih bisa merasakan kecanggungan yang sama yang dulu terjadi sebelum Jeonghyeon datang. Bahkan lebih parah kali ini.

Shinyu jadi jarang tersenyum, jarang membuat onar, tatapannya nyaris selalu kosong, dia dan biolanya sudah jadi seperti kembar siam. Bahkan ia mengganti warna rambut coklat alaminya menjadi hitam. Intinya, Shinyu dalam empat bulan terakhir ini bukanlah Shinyu yang kukenal sebelumnya. Yang membuatku lebih frustasi adalah, aku sama sekali tak tahu apa yang ada di pikirannya!

Akan lebih mudah bagi kami, menurutku, kalau ia mau sedikit lebih terbuka. Menceritakan apa yang mengganggunya. Sikapnya akhir-akhir ini begitu aneh, seakan ia ingin pergi, tapi juga tak ingin. Dan itu membuatku lebih bingung. Aku jadi tak tahu harus bagaimana memperlakukannya. Bahasa dramatis untuk itu adalah, dia membuatku menderita. Dan itu jadi kesalahan kesembilannya.

Shinyu menciptakan semacam tameng pelindung di sekelilingnya, khusus untukku. Dia benar-benar menjaga jarak. Bahkan hanya berada dalam radius empat meter di dekatku saja dia sudah seperti mau muntah. Aku ingin meninjunya, dan menghajarnya sampai mati tiap kali itu terjadi, tapi aku tak pernah melakukannya karena aku tahu aku tak benar-benar menginginkan itu. Yang kuinginkan adalah kecanggungan ini berakhir. Aku butuh penjelasan. Penjelasan apapun, tentang apa yang terjadi di otaknya, dan benakku.

Well I didn’t mean for this to go as far as it did. Tapi kenyataannya ini sudah berjalan terlalu jauh. Aku hanya ingin mendapatkan kesempatan untuk memperbaikinya. Hanya itu.

[✓] Blue And Red | Doshin ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang