Dohoon, jenius dalam musik, seorang yang sangat perfeksionis, namun sama sekali tidak peka. Shinyu tak mengerti bagaimana bisa dia dikaruniai kejeniusan dalam bermusik tanpa hati yang sensitif.
Shinyu tertawa geli, dan kemudian menyesalinya karena itu membuat dada kanannya terasa sakit. Ia menekankan telapak tangan kanannya ke dadanya, tempat dimana paru-parunya, sumber penyakitnya, terletak. Kali ini Shinyu tersenyum geli karena sesuatu yang lain, menyadari bahwa dirinya sendiri lah yang menyebabkan ia terbaring lemah dengan penyakit yang nyaris tak bisa disembuhkan lagi ini.
Shinyu memandang sebuah potret berbingkai putih yang diletakkan Minji di meja kecil di samping tempat tidurnya beberapa bulan lalu, tepat ketika ia pertama kali menjalani rawat inap di rumah sakit. Potret dirinya dengan Minji yang sedang tertawa bersama di hari pernikahan mereka. Shinyu tersenyum memandang foto itu, tiba-tiba teringat kalau Minji selalu menjulukinya 'kereta api'. Haha. Shinyu telah menjadi seorang perokok berat selama sepuluh tahun terakhir. Sepuluh tahun..
Shinyu tak perlu diingatkan dengan sentilan kecil di hatinya untuk menyadari apa arti 'sepuluh tahun' itu. Perpisahannya dengan Dohoon. Ya, sudah sepuluh tahun berlalu sejak itu.
Awan mendung masih menggantung di langit, menutupi warna birunya yang sebenarnya sangat Shinyu sukai. Pria itu menghela napasnya, mencoba meredakan rasa sakit yang masih tetap menusuk paru-parunya.
Mungkin memang bukan keputusan yang benar untuk menyuruh Minji membaca buku harian itu sekarang, ketika ia sedang berada di ambang kematian seperti ini. Shinyu mendengus geli, menurunkan tangannya dari dadanya dan menggenggam leher biola putih yang masih tergeletak di pangkuannya. Tapi Shinyu tak bisa menundanya lebih lama. Bagaimanapun Minji harus tahu. Ia tak ingin Minji baru tahu berahun-tahun kemudian setelah kematiannya, dari orang yang salah mungkin, dan saat itu Minji pasti akan sangat membencinya.
Shinyu tersenyum getir. Dia sangat egois memang. Dulu ketika pertama kali buku harian itu datang padanya, ia menyuruh Minji untuk tidak menyentuhnya sama sekali. Saat itu ia tak ingin kenangannya bersama Dohoon kembali. Kenangan yang pasti akan membangkitkan sesuatu yang lain dalam diri Shinyu. Ia tak siap untuk menghadapinya lagi, ketika hidupnya sudah mulai teratur. Ia memikirkan perasaannya sendiri saat itu. Begitu pula sekarang. Ia hanya tak ingin Minji membencinya.
Shinyu menghela napas. Kalau sekarang Minji membencinya, paling tidak Shinyu masih bisa memberikan penjelasan dan wanita itu masih akan mendengarnya. Barulah setelah itu ia bisa pergi dengan tenang.
Shinyu memainkan jari-jarinya di atas senar biolanya perlahan. Tanpa sadar ia sudah meletakkan biola itu di pundaknya, dan memainkan Blue Sky.
'The memories are by our side, forever and ever.'
***
Dohoon's Journal, October 8, 2010.
Tak ada yang salah di mataku sejak Juni. Bahkan cuaca buruk musim gugur juga tidak mengangguku. Aku bahkan sudah nyaris melupakan mobilku yang masih menginap di tempat Seunghwan. Aku tidak berniat untuk dekat-dekat dengan orang itu, atau Hanni, sampai beberapa tahun ke depan. Toh Shinyu tidak keberatan dengan motorku. Malah kadang ia yang mengendarainya untuk jalan-jalan sementara Namu berlarian di sampingnya. Orang gila, mana ada majikan yang senang melihat anjingnya kecapekan berlari mengikuti Ducati? Tapi ternyata Namu lebih gila dari majikannya karena anjing itu menyukainya.
Hah. Aku sudah menghabiskan beberapa baris jurnalku untuk menulis hal tak penting tentang Shinyu dan Namu.
Tunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Blue And Red | Doshin ♡
FanfictionKim Dohoon adalah anak dari pengusaha terkemuka di Korea yang ingin mewujudkan impiannya menjadi pianis sukses. Namun keluarganya terus mencoba menghalangi impiannya itu bahkan saat Dohoon berhasil kabur dan berhasil bersekolah di Universitas musik...