Dohoon's journal, January 11, 2009.
Aku tidak punya banyak hal yang kuanggap berharga dalam hidupku. Aku tak punya keluarga yang kucintai, aku tidak punya teman yang kusayangi dan bahkan hidupku tidak berarti banyak untukku. Tapi itu bukan berarti 'semua' hal sama sekali tidak berharga bagiku.
Hanya dia... dia yang bisa membuatku benar-benar memahami dan merasakan makna kalimat, 'we realize something precious after we lose it'. Hanya sederetan kata-kata sederhana, namun butuh dua tahun bagiku untuk benar-benar mengerti artinya. Dua tahun bersamanya.
Semua itu berawal ketika usiaku mencapai delapan belas tahun, dan aku memutuskan untuk pergi dari rumah orang tuaku, kalau mereka masih bisa disebut orang tua. Aku tidak meninggalkan rumah tanpa alasan.
Dan yang menjadi alasan utama adalah, aku muak. Aku muak dianggap tidak ada di tempat yang disebut rumah itu. Dan kalaupun mereka menyadari keberadaanku, mereka hanya akan memperlakukanku seakan aku ini lebih rendah dari manusia. Bahkan ibu yang melahirkanku pun tidak lebih baik.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk membuang keluargaku sebelum mereka melakukannya lebih dulu. Sekarang, tak ada lagi Kim Dohoon yang mereka kenal.
***
Ponsel Dohoon berdering. Ia meliriknya sekilas, tapi terlalu malas mendekatkannya ke telinga, sehingga ia hanya menekan tombol loudspeaker-nya saja."Dohoon?" suara yang ia kenali sebagai suara kakaknya, Kim Jeonghyeon.
"Hn," jawabnya malas, tak peduli Jeonghyeon mendengarnya atau tidak. Ia masih sibuk menekuni sederetan not-not balok di hadapannya.
"Dohoon, kau benar-benar yakin dengan apa yang kau lakukan? Ibu mengkhawatirkanmu." Kata Jeonghyeon.
Dohoon sama sekali tidak menanggapi, melainkan menambahkan beberapa nada lagi di kertasnya.
"Dohoon," panggil Jeonghyeon, mengharapkan respon yang lebih baik dari adiknya. "Kau tahu? Ayah sebenarnya menyayangimu, ia hanya tidak tahu bagaimana menunjukkannya.."
Dohoon mendengus geram, dan meletakkan penanya. "Oh, memanggilku dengan nama Jeonghyeon selama delapan belas tahun itu salah satu bentuk rasa sayangnya ternyata? Mengharukan." Tanggapnya sarkastis. Membuat Jeonghyeon terdiam mendengar kata-kata adiknya.
"Yah.. setidaknya ia sudah memanggilmu dengan benar sekarang.."
Dohoon berdecak kesal. "Sudahlah, Jeonghyeon. Berhenti membujukku untuk pulang karena aku takkan pernah mau. Biarkan aku menjalani sisa hidupku dengan tenang tanpa bayang-bayang Kim sialan itu.."
"Dohoon!" tegur Jeonghyeon, tidak senang dengan perkataan Dohoon. "Tapi kau tidak perlu bersikap kekanakkan dengan meninggalkan Korea segala kan? New York terlalu jauh, Dohoon."
"Dan apa pedulimu?" sergah Dohoon, sekarang memelototi ponselnya seolah-olah ponselnya adalah jelmaan kakaknya. "Hidupku tadinya lumayan baik-baik saja. Kau anak emas Mingyu, hanya kau yang dipandangnya, itu sudah cukup buatku. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Tapi lalu kau dan mulut besarmu mengacaukan segalanya. Kenapa kau bilang pada Mingyu bahwa aku bercita-cita jadi pianis, hah?" tuntut Dohoon, mengeluarkan segala unek-uneknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Blue And Red | Doshin ♡
FanfictionKim Dohoon adalah anak dari pengusaha terkemuka di Korea yang ingin mewujudkan impiannya menjadi pianis sukses. Namun keluarganya terus mencoba menghalangi impiannya itu bahkan saat Dohoon berhasil kabur dan berhasil bersekolah di Universitas musik...