01

52 7 0
                                    

Angin hangat musim semi sepoi-sepoi memasuki ruang rawat serba putih itu. Hembusannya sesekali menerbangkan helai gorden hingga menyapa permukaan kulit seorang pria yang berbaring tak jauh dari jendela. Surai hitam legam yang jatuh menutupi sebagian wajahnya tertiup dan tergeser ke sisi. Menampilkan paras rupawan yang sedikit pucat lebih jelas. Bergeser sedikit dari sang pasien, seseorang dengan setelan formal hitam duduk tegap. Sepasang maniknya menatap lekat pria yang terlelap begitu damai dengan tatap teduh. Ada sesekali ia melirik jam tangan lalu bangkit sebentar untuk minum air yang telah di sediakan di meja nakas dan kembali duduk. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, ia dengan setia menunggu pria yang terebah di ranjang membuka matanya.

Siang berganti malam lalu kembali ke siang dan menjadi malam lagi. Sudah beberapa kali siklus itu berganti dan sosok berjas hitam itu masih tetap di kursinya. Diam bak patung di ujung kiri ranjang dan menatap pria yang masih terlelap seperti sebelumnya. Rasanya masih kemarin hujan sakura turun dengan indah di belakangnya. Tapi sekarang hawa panas menyengat yang menerpa punggungnya dari jendela. yang berarti musim panas telah berada di puncaknya. Menoleh ke jendela sejenak, ia tatap birunya laut yang langsung tampak dari kamar rawat pasien pria itu.

Tatapan dan raut wajahnya seakan berkata, Ah, sayang sekali hanya aku yang bisa melihatnya.

Waktu terus berjalan tanpa peduli seiras atau tidak dengan roda kehidupan yang berputar. Di luar gedung rumah sakit yang setinggi 5 lantai itu, daun-daun momiji telah hampir sepenuhnya menutup jalan setapak di halaman. Tak ayal beberapa yang terbawa angin masuk ke jendela dan dengan seenaknya mendarat di atas lantai yang baru saja di bersihkan. Memungut satu yang masuk dari jendela, ia memutar daun kemerahan itu dan beralih pada si pria yang masih tidur lelap. Bangun dari duduknya, ia membuang daun di tangannya keluar dan menatap beberapa pegawai rumah sakit yang sedang menyapu halaman. Ada sekiranya 6 sampai 7 bukit tumpukan daun momiji yang terkumpul setelah di sapu untuk kemudian tercerai berai karena hembusan angin lewat.

Seulas senyum kecil terbit di wajahnya. Dalam hati mensyukuri hari damai seperti ini.

Jam dinding menunjukkan angka 20.47. Sudah lumayan larut. Namun ia tahu bahwa ia tak boleh sedikitpun bergeser dari tempatnya. Sampai pria di ranjang itu siuman, ia tidak bisa pergi dan membiarkannya sendirian. Tak peduli berapa lama waktu yang harus dihabiskan, ia tidak bisa membiarkan pria itu terbangun dalam kebingungan. Setelah semua yang terjadi, ia sudah bersumpah untuk setia bekerja di bawah naungannya dan menjadi tangan kanannya. Beranjak menutup jendela, ia rapatkan tirai dan kembali duduk dengan punggung tegap bak patung yang tak goyah dari hujan petir dan panasnya matahari. Ia duduk dengan keyakinan mantap menanti pria bersurai hitam disana membuka matanya.

Matahari di ufuk timur secara lembut merobek malam sekaligus menyiram dunia dengan sinar hangatnya. Selaras dengan secercah sinar yang masuk menerobos gorden jendela, sepasang manik yang telah lama memejam itu bergerak perlahan. Di susul kemudian satu persatu jemari yang tersentak kecil. Sekian detik berjuang untuk bebas dari alam hampa, akhirnya sepasang manik kuyu itu perlahan berhasil menangkap fokus pengelihatannya dan berangsur-angsur menatap langit-langit kamar rawat dengan jelas.

"Ugh," lirihnya serak.

Selagi mengumpulkan tenaga, segelas air mineral muncul di dekatnya. melirik asal gelas itu muncul, ia temukan wajah datar yang menatapnya tenang. "Akhirnya anda bangun, tuan."

Pria itu mengerjap lemah. Masih terlihat mengawang-awang melihat area pandangnya. Pria bersetelan formal itu membantu sang pasien untuk pelan-pelan duduk dan menyeruput minum sedikit demi sedikit. Setelah di baringkan kembali, pria bersetelan jas itu bergegas menuju pintu seraya merogoh sakunya. "Saya akan memanggil dokter untuk memeriksamu," katanya.

Espoir || MafuSoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang