Chapter 3: Code

21 12 2
                                    

Bulan bersinar terang bersama jutaan bintang di angkasa, menambah keindahan langit malam. Selesai memakai sepatu, Dominik berdiri; membungkuk hormat di hadapan Bjorn dan istrinya yang berdiri di dekat pintu. "Terima kasih," ucapnya disertai senyum lembut nan bersahabat. Ia menegakkan tubuh, lalu merapikan jasnya sejenak. "Makanannya sangat lezat. Saya menyukainya. Saya merasa seperti sedang menikmati masakan restoran bintang lima."

Mendengar kalimat pujian yang terlontar dari mulut pria di hadapannya, Valerie terkekeh pelan. "Anda terlalu berlebihan, tetapi terima kasih, Tuan Gregorescu. Saya bersyukur jika Anda menyukai masakan saya."

"Kami juga mengucapkan terima kasih, karena Anda sudah mengajarkan Harvey dengan baik dan penuh kesabaran," tutur Bjorn turut membungkukkan tubuh.

"Tidak perlu berterima kasih, itu memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya sebagai seorang guru," kata Dominik, kemudian memperhatikan pergerakan jarum jam di balik kaca kristal pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. "Kalau begitu, saya pamit undur diri." Sekali lagi, ia membungkuk hormat. "Selamat malam, Tuan, Nyonya."

Sambil mengangguk, Valerie berujar, "Hati-hati di jalan, Tuan Grigorescu."

Dominik mengangguk kecil sebelum berbalik pergi meninggalkan kediaman keluarga Williams. Perlahan, senyum ramah di wajahnya berubah menjadi seringai lebar. Sepasang kaki melangkah pasti di pinggir jalan sepi. Melewati rumah demi rumah di sisi kanan dan kiri.

Di tengah keheningan jalan, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang berjalan dari arah belakang. Seringai di wajah luntur. Dominik menatap sebuah mobil sport mewah berwarna merah menyala yang kini sudah berhenti tepat di sebelah kanannya.

Jendela mobil terbuka, memperlihatkan sosok pria paruh baya berkacamata tipis. Ia memiliki kulit pucat dan rambut hitam legam. Ekspresi wajahnya terlihat dingin dan ketus. Ia berucap, "Cepat naik!" Intonasi bicaranya terdengar sangat tidak bersahabat.

Napas berat berembus. Dominik menunduk, mensejajarkan tubuh jangkungnya dengan jendela mobil. "Yo! Selamat malam, Tuan Lukas Powell," sapanya ramah.

Namun, sikap ramah tidak selalu mendapat respon baik. "Cih!" Lihatlah Lukas dan wajahnya yang tampak seperti anjing ngamuk. "Cepat masuk atau aku akan membunuhmu sekarang juga, bajingan kecil!"

Desahan kesal meluncur. "Baiklah, baiklah, Tuan Pemarah." Dominik segera membuka pintu mobil dan mendaratkan bokongnya di jok depan—tepat di sebelah Lukas yang duduk di kursi kemudi—lantas memakai sabuk pengaman.

Mobil melesat cepat di tengah kesunyian. Dominik sibuk bermain ponsel, sedangkan Lukas tetap mengendarai mobil dan memandang lurus pada jalanan. Tidak ada satu pun dari mereka yang berniat memulai percakapan. Mereka terlalu sibuk bergelut dengan diri masing-masing.

Ketika memasuki kawasan perkotaan yang ramai, Dominik menutup ponsel. Ia menyandarkan sebelah tangan di jendela mobil yang terbuka. Kepala menoleh ke samping, menikmati pemandangan jalanan ibu kota. Angin berembus cukup kencang, mengibarkan sebagian rambut di kedua sisi depan yang sengaja diurai.

Pukul sembilan malam, Big Ben berdentang keras di seluruh penjuru kota. Kebetulan saat itu mobil yang mereka naiki melesat di sekitar Jembatan Westminster.

"Sebaiknya kita bergegas." Setelah sekian lama, Dominik melenyapkan keheningan. Ia senantiasa menoleh ke samping, melihat pemandangan di luar sana. "Tambahkan kecepatan!" titahnya santai.

Dahi berkerut berang. Lukas berdecak kesal. Kemurkaan terlukis jelas di wajahnya. "Sudah kukatakan berkali-kali, jangan pernah memerintahku, bocah ingusan!" hardiknya tidak terima. Ia langsung menginjak gas dan mengemudikan mobilnya dalam kecepatan maksimal.

The Murderer's SchemeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang