Chapter 12: How the Devil Was Born?

29 6 0
                                    

Kidung pujian menggema di sekitar jalanan bersalju. Suaranya terdengar begitu syahdu dan menyejukkan hati. Beberapa pria tinggi besar berjalan di sekitar trotoar menggunakan kostum Santa Claus. Tak jarang mereka menghibur para pejalan kaki, terkhusus anak-anak. Memberi hadiah kecil sembari melayangkan tawa ikonik, "Ho, ho, ho!"

Mereka semua terlihat bersemangat, padahal malam Natal dirayakan dua hari setelahnya.

Lampu hias dan pohon cemara raksasa—yang dipenuhi dekorasi meriah—semakin mempercantik kawasan utama London. Para penjajak mulai berlomba menawarkan dagangan. Berupa makanan; minuman; pernak-pernik ataupun aksesoris khas Natal. Di sekitar jalanan kota—sebut saja Oxford Street—Dominik melangkah konstan di tengah hiruk pikuk bersama seluruh anak buah, kecuali Oana yang termasuk ke dalam daftar pencarian orang. Wanita itu terpaksa harus dikurung di dalam rumah. Sekedar berjaga-jaga agar tidak tertangkap. Bisa gawat jika wanita itu tertangkap oleh pihak berwajib.

Merepotkan, bukan?

"Huh!" Di tengah perjalanan, Lukas memijat kening yang terasa sakit. Hal itu disebabkan oleh perdebatan remeh antara Vasilissa dan Junko. Entah sudah berapa kali pria berkacamata itu membentak dan menyuruh keduanya untuk diam, tetapi percuma. Baik Vasilissa maupun Junko sama-sama tidak sudi mengalah.

"Sudahlah, biarkan saja mereka," sungut Dalton, si pria flamboyan. "Sekeras apa pun kau menghalangi perang dunia ketiga, semuanya percuma."

"Cih!" Lukas berdecak sebal. "Sampai kapan aku terjebak bersama kalian, orang-orang bodoh?" rutuknya berusaha menahan emosi.

Tidak terima disebut bodoh, Dalton langsung melayangkan protes, "Hei! Aku tidak bodoh!"

"Aku juga tidak bodoh," Felix menimpali. Merasa tidak terima, ia menatap tajam sosok Lukas, seolah ia akan membunuhnya detik itu juga. "Mana mungkin orang bodoh bisa masuk ke sekolah favorit, mendapatkan juara pertama secara berturut-turut, dan merakit bom di usia dini sepertiku, Paman."

"Ha?!" sembur pria berkacamata ke arah Felix. "Siapa yang kau sebut paman, bocah tengik?!"

Puas menekan lawan bicara, Felix menyeringai tipis. Ia semakin gencar melayangkan serangan balasan. "Tentu saja kau," tegasnya tak kenal takut. Persetan dengan norma. Persetan dengan orang-orang yang mulai mengarahkan atensi pada mereka semua. "Memangnya siapa lagi yang lebih tua di sini selain dirimu, Paman?"

"Ka-kau ... bocah kurang ajar!"

Sesungguhnya, Lukas hampir menghajar bocah laknat itu kalau saja Dalton tidak segera menghentikannya dan berkata, "Oh, ayolah. Berhenti bertengkar!" Pria flamboyan menatap punggung tegap Dominik yang masih berjalan santai di depannya. "Tuan Grigorescu, aku mohon tolong aku. Mereka akan saling bunuh."

Sulit dipercaya, reaksi pria berambut hitam panjang yang diikat ke belakang itu benar-benar di luar perkiraan. Alih-alih menolong, ia malah tersenyum. "Kalau begitu biarkan saja. Sekali pun mereka mati, itu bukan urusanku." Dalam waktu singkat, pertengkaran antara mereka semua otomatis terhenti. Baik Vasilissa, Junko, Lukas, dan Felix resmi mengakhiri pertengkaran konyol walau berat hati.

"Ah, satu lagi." Tiba-tiba Dominik berhenti melangkah. Tubuhnya berbalik menatap seluruh anak buah yang mengekorinya dari belakang. Ia tersenyum ramah. "Jika kalian mati hanya karena hal sepele, itu sama sekali tidak membuatku sedih. Lagi pula, apa untungnya aku menolong orang-orang yang sudah tidak berguna bagiku?"

Bagai sebuah belati yang menancap di relung hati. Tidak bisa dipungkiri, kata-kata sang pimpinan yang terdengar santai, tetapi menyeramkan di saat bersamaan sontak membuat semua kembali terdiam. Ketika Dominik berbalik dan melanjutkan langkah, mau tidak mau mereka harus menahan diri.

The Murderer's SchemeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang