Chapter 1: Introduction

56 15 4
                                    

Kabar terbakarnya sebuah kapal pesiar mewah di perairan Inggris menjadi topik hangat yang merebak di kalangan masyarakat. Tiga helikopter dan tiga kapal dikerahkan guna melakukan pencarian korban. Sejauh ini baru sekitar enam belas orang yang ditemukan tewas, sisanya masih menjadi misteri.

Seluruh petugas senantiasa berupaya memadamkan api dari malam hingga pagi. Selama proses pencarian, tim penyelamatan belum menemukan satu pun manusia yang masih hidup di dalam reruntuhan kapal. Garis polisi membentang di sepanjang bibir pantai. Awak media memenuhi tempat kejadian perkara, berlomba-lomba meliput siaran langsung. Suara sirine terdengar nyaring. Mobil polisi dan ambulans berdatangan.

Bjorn Williams—inspektur muda dari Kantor Kepolisian London—turun dari dalam mobil van berwarna silver bersama kedua anak buahnya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka berjalan—setengah berlari—ke arah mayat yang sedang dalam proses evakuasi. Keadaan mayat itu sangat mengenaskan. Seluruh tubuhnya hangus dilahap si jago merah. Wajahnya sudah tidak berbentuk.

Sambil berjongkok, George Rodriguez—salah satu anak buah Bjorn—terlebih dulu memakai sarung tangan medis sebelum akhirnya meraba dan memeriksa kondisi mayat. "Kondisi jenazah sudah hangus terbakar. Sulit diidentifikasi," tuturnya.

"Tuan Williams!" seru Kate. Gadis berambut pirang sebahu itu berjalan mendekat, kemudian berhenti tepat di hadapan Bjorn dan kawan-kawan. Selesai mengatur napas, ia menegakkan tubuh lantas menyerahkan ponsel dalam genggaman. "Kau harus melihat ini."

Dahi mengernyit. Sedikit ragu, Bjorn mengambil ponsel dari tangan Kate. Kedua mata terbelalak. Sepasang safir jernih terpaku menatap layar ponsel. Di sana terpampang jelas foto kepala manusia yang dipenuhi luka bakar dan tidak dikenali tergantung di sebuah pohon besar. "Ini ...."

"Foto itu dikirim oleh akun tanpa nama. Aku sudah mengecek semuanya. Sayang sekali, aku tidak bisa melacak dalang di balik semua ini. Semua datanya tidak ditemukan."

Alice Hudson—detektif amatir berambut merah—mengambil gambar menggunakan kamera di tangan, lalu menginterupsi, "Uh, menjijikan!"

"Cih! Tidak bermoral," gerutu George. "Psikopat."

Di saat yang bersamaan, tiba-tiba ponsel yang berada dalam genggaman Bjorn bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor asing terpampang jelas di balik layar. Kate dan seluruh anak buahnya langsung mendekat. Mereka semua menengok deretan kalimat yang terpampang di layar. Tanpa ragu, mereka segera membaca isinya.

*
*

Halo, apa kabar? Mungkin kalian bertanya, siapa aku? Mengapa aku mengirimkan pesan kepada kalian?

Kalau begitu, perkenalkan. Aku adalah Randall. Tujuanku mengirimkan pesan ini kepada kalian semua tentu saja karena aku ingin kalian mengetahui eksistensiku. Tidak kurang dan tidak lebih.

Ngomong-ngomong, tragedi kapal pesiar itu aku yang melakukannya. Aku harap kalian semua menyukai sambutan hangat dariku. Oh, ya. Tentang foto kepala buntung yang sudah kukirim sebelumnya, kalian bisa mengeceknya di tengah Hutan Kegelapan.

Sampai jumpa di kasus selanjutnya.

Randall

*
*

Sebelah alis terangkat. "Randall?" ucap Bjorn mengeja salah satu tulisan yang tertera. Perlahan, dahinya berkerut berang. Api amarah mulai menggelora. Tanpa sadar, ia meremat ponsel dalam genggaman. "Kau bercanda?" bentaknya keras. Ia nyaris melempar alat komunikasi itu kalau saja Kate tidak menahannya.

"Hei! Jangan lempar ponselku!" protes si gadis pirang seraya merebut ponsel dari tangan inspektur muda berambut cokelat tua di hadapannya.

Napas berat berembus. Bjorn memijat kening yang terasa pusing. Pekerjaannya sudah banyak, menumpuk, dan ia dituntut untuk menyelesaikannya dalam waktu singkat. Ia hampir gila. Lalu sekarang, masalah baru muncul dengan adanya pesan berantai yang dikirim oleh Randall. Ya, bedebah busuk itu. "Lagi-lagi harus kerja lembur." rutuknya diakhiri dengkusan kesal. "Oh, sial! Nasib budak korporat!"

The Murderer's SchemeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang