Chapter 6: Rascal

46 10 5
                                    


"Turunkan senjata kalian atau dia akan mati!"

"Cih!" Alih-alih menuruti permintaan musuh, Bjorn tetap tak gentar. Ia justru mengarahkan senjata ke depan dan melepaskan tembakan. Sayang sekali, musuh tak kalah cerdik. Dilihat dari caranya menghindari serangan tanpa melepaskan Oana dari genggaman, Bjorn pikir dia memiliki refleks yang bagus. "Kau kira kami akan tunduk dengan ancaman sampahmu, ha?!" cibir pria pemilik darah Swedia itu lagi. "Jawabannya tentu saja tidak!"

Lewat megafon pengubah suara, pria itu tertawa renyah. Ia mendekap tubuh Oana semakin erat. "Menarik, sangat menarik," ungkapnya. "Tidak salah bila aku menganggapmu sebagai musuh terhebat, Tuan Bjorn Williams."

Kedua mata terbelalak lebar. Dahi mengernyit heran. Mendadak, tubuh Bjorn mematung di tempat, tangannya bergetar hebat. "Ka-kau ... bagaimana kau bisa tahu namaku?"

"Tentu saja, karena Randall mengetahui segalanya," pria itu berseru penuh kebanggaan lewat megafon di tangan. "Bagaimana perasaan kalian? Apakah kalian senang bertemu denganku? Tolong jawab ak—"

Kesal, Bjorn tidak mengizinkan Randall berkata lebih jauh. Ia kembali melancarkan serangan membabi buta, disusul bunyi senapan yang memekakkan telinga. Tidak peduli jika serangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. "Cih!"

"Tidak kena," ejek musuh. Tidak ada yang tahu bahwa ia sedang mencebik di balik topeng paruh burung ala dokter wabah yang menutupi seluruh area kepala. "Kalau kau menginginkan perang, baiklah. Mari kita berperang, Inspektur Williams."

Seusai melontarkan kalimat, kubu Randall dan kubu Bjorn langsung angkat sejata. Mereka semua tak ragu melesatkan timah panas di udara. Suara tembakan bersahutan, terdengar bagai alunan simfoni. Dari atas puing bangunan, Randall menonton semuanya dalam diam. Seringai terangkat di balik topeng paruh burung di wajah.

Tidak bisa dipungkiri, menghadapi jumlah yang tidak sepadan cukup membuat Bjorn dan yang lainnya ketar-ketir. Bayangkan saja, empat lawan enam. Kalau seandainya Randall tidak diam dan turut serta dalam pertarungan, maka habislah sudah.

"Semuanya, cepat berlindung!" teriak Bjorn di tengah pertarungan sembari berlari ke arah salah satu batu besar yang berada di sekitar puing-puing bangunan dan berlindung di sana.

"Baik!" ketiga kawan menyahut bersamaan. Sesuai titah, mereka mulai mencari tempat yang aman. Vincent berlindung di balik mobil penyok; Kate berlidung di balik reruntuhan bangunan; Albert berlindung di balik batu besar tak jauh dari tempat Bjorn. Mereka semua sesekali mengisi amunisi sebelum kembali melakukan perlawanan.

Tembakan bazoka tak terelakkan. Sukses membuat batu—tempat Albert berlindung—hancur. Tampak asap mengepul di sekitar puing-puing batu yang hancur. Tubuh pria jangkung itu turut terpental cukup jauh. Kepalanya terbentur sebuah batu.

Bjorn menoleh cepat ke belakang, menatap Albert yang meringis kesakitan. "Albert!" ia berteriak lantang. Namun, kala hendak beranjak menyelamatkan teman seperjuangan, musuh menembakkan timah panas ke arah kaki kanannya dari kejauhan. "Akh!" Tubuh tersungkur jatuh.

"Tuan Williams!" Kate dan Vincent kompak berseru. Tidak ingin kalah, keduanya mulai keluar dari persembunyian. Membalas serangan musuh, sesekali bersembunyi di sekitar puing-puing. Semua ini mereka lakukan demi melindungi Bjorn dan Albert dari serangan brutal sekumpulan orang aneh bertopeng paruh burung ala dokter wabah.

"Sial!" rutuk Kate sebelum mengarahkan serangan untuk yang ke sekian kali.

Vincent yang menyadari suasana hati Kate mulai berkomentar, "Tenangkan dirimu," ucapnya santai. Di saat yang bersamaan, pria bertubuh besar itu berlari, berlindung di balik sebuah mobil.

The Murderer's SchemeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang