| TWENTY-EIGHT

277 30 2
                                    

Jika ditanya apa yang sedang ia rasakan, Rifgi Pratama mungkin akan menjawab bahwa ia tidak tahu karena kepercayaan dirinya sudah terlempar jauh ke laut bersamaan dengan reaksi dingin dari Ariana Tanoto, sahabatnya itu. Dan ia tidak bisa berkutik karena orang itu adalah Ariana.

Awalnya ia tidak ada rencana bergabung dalam persahabatan diantara Maxwell, Ariana kemudian Tassha. Namun ia penasaran, dipengaruhi juga oleh keinginannya untuk berada di dekat Aria setelah ditolak mentah-mentah perempuan itu saat berada di daerah pedalaman dulu. Kemudian keempatnya saling bergantung dengan satu yang lainnya, Tassha yang sendirian di Jakarta, Aria dengan segala kebosanannya dengan hidupnya yang monoton (itu katanya) dan Maxwell yang bersikap seolah tidak ada beban di hidupnya. A friend for life. A friend he could trust with his life.

Kepercayaan dirinya jatuh hingga ke dasar bumi. Banyak yang bilang seorang Rifgi adalah dokter bertalenta, menjalani pendidikan spesialis nya di Cardiovascular dan memiliki keluarga bahagia. But if he is going to talk about Aria, he knows he is not enough. Apa yang bisa ia berikan pada sahabatnya itu? He is no longer 18 years old having a crush on a girl. He is an adult. A proper adult.

Diam yang diberikan Ariana membuatnya berpikir keras. Siapkah ia kehilangan perempuan itu sebagai sahabatnya? Bisakah ia memperlakukan Ariana sebagai perempuan, lebih dari sekedar teman?

Di tengah rasa frustasinya, ia mendapat sebuah pesan dari Maxwell.

"Mansion, ASAP."

Ia baru saja selesai dengan pasien terakhirnya. Dan sekarang ia berusaha menghabiskan waktu di kemacetan Jakarta, mencari alasan untuk tidak bertemu dengan Maxwell. Apa yang akan pria itu katakan? Si overprotective bodoh yang selalu merasa ia adalah kakak Ariana itu pasti akan menghajarnya. Little that he know, bahwa Aria tidak bisa melupakan Maxwell. Semua ini diawali oleh Maxwell.

Malam itu, Ariana yang terus berbicara padanya dan tangisan perempuan itu yang membuat hatinya tak tenang. Tangannya terlalu lemah untuk mendorong Ariana dan menarik perempuan itu ke dalam dekapannya saat itu. Sialan, ia merasa kembali menjadi remaja.

"Egi," Sapa Tassha begitu membuka pintu. Ia mengangkat senyum, tak tahu harus berekspresi apa. Karena dari tatapan Tassha, ia tahu perempuan itu mengetahui tentang apa yang terjadi.

"Bastard." Tak lama, pria yang bertubuh besar itu menarik kemejanya dan meninjunya.

"Max, no, stop." Kali ini Tassha berteriak. Ia tidak menyangka pria itu meninju Rifgi tanpa sapaan.

Egi tersenyum tanpa kata melihat ekspresi Maxwell yang marah. Ia bahkan tidak berkata apa-apa ketika Maxwell dan Tassha berpacaran, namun laki-laki itu penuh amarah ketika ia mencium Aria dalam keadaan mabuk. Ia tidak mengerti bagaimana Maxwell begitu melindungi Aria, tapi tidak memiliki perasaan cinta kepada perempuan itu.

"Did you sleep with her?" Tanya Maxwell lagi. Egi mengangkat bibirnya, "Yes." Dan ia menerima pukulan kedua dari Maxwell. Ia yakin rahangnya akan hancur jika pria itu terus memukulnya di sisi yang sama.

"Udah marahnya?" Ucap Egi dengan nada menantang.

Tassha menghela napas, jujur, ia juga tidak mengerti apa yang terjadi. Di titik ini, ia tidak yakin keempatnya hanya sahabat. Maxwell yang menyimpan perasaan untuknya, ia yang menyukai Egi, Egi yang menyukai Aria. Apakah ini berarti Egi belum bisa melupakan Aria sepenuhnya?

"Lo harusnya jaga dia."

"I protected her. Ini urusan gue dan Aria, bukan lo, Max."

"She is my best friend, my sister. Your best friend." Balas Maxwell tegas. Tatapan yang jarang ia berikan pada sahabat satu-satunya yang bisa ia percayai ini.

UNFITTED, UNFATED [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang