10 tahun yang lalu
Egi membawa Aria berjalan ke rumah pohon yang tidak jauh dari rumah orangtua angkat mereka tinggal. Hari mereka sudah hampir habis disini dan Egi tahu bahwa ia tidak memiliki waktu lagi untuk melakukan yang ingin ia lakukan.
Is it first love? Kayaknya enggak. Karena Egi pernah suka seseorang di masa SMA, berpacaran dengannya dan putus sampai hatinya terluka. Tapi belum pernah ia merasakan perasaan sekuat yang ia rasakan dengan Aria.
Kapan ini dimulai, ia pun tidak sadar. Mungkin ketika Aria membantunya saat mereka latihan membuat eksperimen dan tidak sengaja memegang tangannya. Atau ketika mereka mengatur sekelompok anak usia tujuh sampai sembilan tahun yang suka berteriak. Apakah ketika mereka berjalan kaki setiap sore untuk menikmati sunset di sudut yang berbeda tempat ini?
Baginya, Aria beda dari perempuan lain. Aria adalah orang yang bisa tertawa lepas, mengungkapkan perasaannya seperti tidak ada beban. Gadis ini memiliki banyak kreatifitas, berani dalam bersikap dan tidak pemilih. Ia dengan santainya mengangkat barang-barang ketika ia membantu Hani yang kewalahan. Aria adalah gadis yang bersinar.
Perempuan imut, ceria, blak-blakan, cerdas dan setiap langkah yang ia lakukan tidak dapat ia prediksi.
Tanpa sadar, ia terjebak dalam imajinasinya.
"Kayaknya ini bakalan jadi hari terakhir kita disini lihat sunset. Sayang banget." Ucap Aria melihat kearah matahari terbenam dari rumah pohon ini. Ia mengayunkan kakinya kebawah. Egi mengangguk, "Setuju."
"Setelah ini, apa yang bakalan lo lakuin?"
"Kuliah, pastinya. Kalau udah praktek bakalan banyak jadwal pastinya."
Aria mengangguk setuju, "Kampus gue juga. Kita bakalan susah ketemu deh setelah ini."
"Emang lo gak kuliah di Jakarta?" Tanya Egi.
"Gak."
"Menurut lo gimana sebulan disini?" Tanya Egi lagi.
"Lots of fun. Gue selalu pengen tahu dan rasain yang beginian. I guess a part of me wants to be someone useful and do meaningful things. You made my experience a lot better, thanks captain." Puji Aria lagi.
"Gue juga gak nyangka. Awalnya gue pikir ini bakalan jadi waktu untuk refresh sebelum dunia kuliah yang semakin sibuk. But it's better than expected."
"Right."
"Karena lo, Aria. Lo membuat pengalaman ini jauh lebih menyenangkan." Katanya pelan. Kedua mata besar Aria menatap Egi bingung sebelum menyadari maksud laki-laki yang mulai kelihatan canggung itu.
"Ada sesuatu yang ingin gue bilang sama lo."
"Apa itu?"
"Gue suka sama lo. Apakah lo mau jadi pacar gue?" Pertanyaan yang dilontarkan Egi dengan lembut membuat Aria terdiam untuk waktu yang lama.
***
Di hari terakhir mereka tinggal di Petiku, kelimanya memutuskan untuk tidur di luar rumah menghadap langit. Mereka mulai terbiasa untuk hidup tanpa listrik hingga sore hari, menikmati kunang-kunang malam yang menerangi halaman rumah dan air keruh yang ada di depan rumah. Terkadang, mereka memutuskan untuk menaiki perahu kecil dan bergerak menuju daerah perairan yang jernih dan loncat untuk berenang. Tanpa terasa, mereka sudah menghabiskan satu bulan bersama.
"Hari ini perlu refleksi lagi gak?" Aria mengingatkan kegiatan yang mereka lakukan setiap malam.
"Gak perlu lah. Besok kan udah gak ngajar lagi." Jawab Max santai. Aria menepuk lengan Max dengan keras.
"Perlu dong. Refleksi terhadap satu sama lain sebagai teman." Kata Aria lagi. Max mengangguk tidak ikhlas.
Hani tertawa, "Aku dulu deh. Aku gak nyangka jadi yang paling muda dan belajar banyak hal gak cuma sama teman-teman disini, tapi juga sama kalian. Makasih banyak." Ucapnya tulus. Ia memiliki perbedaan usia dua tahun dengan anggota lainnya disini.
"Gue juga. Gue sangat appreciate kalian semua, terutama karena sudah percayain gue sebagai captain disini. Sha, makasih sudah kasih gue banyak masukan. Gue tahu dibandingin gue, sebenarnya lo lebih decisive dan punya banyak ide. Sorry juga udah berantem di awal kemarin." Ucap Egi mengingatkan mereka di minggu pertama ketika dirinya dan Tassha bertengkar. Singkatnya, Tassha frustasi karena Egi selalu bertanya pendapat semuanya tanpa punya pendapat sendiri dan sulit membuat keputusan.
"Thanks to Max, my roommate. Kalau gak ada lo, gak tahu deh hidup gue dikelilingi cewek-cewek ini gimana." Tambahnya lagi sambil bercanda.
"Dan Aria, makasih banget udah jadi orang yang bantu gue setiap kali ada masalah dalam kelas. Gue senang banget jadi partner lo." Kali ini ucapannya tertuju pada Aria. Selama mereka mengajar, seringkali Aria dan Egi menjadi satu tim. Sementara Tassha, Max dan Hani di tim lainnya.
Tassha dan Aria menepuk tangan.
"Max, giliran lo." Ucap Aria menyikut cowok yang terlihat tak acuh itu.
"Makasih udah gak ganggu gue setiap baca buku. It's very helpful. Dan selama Tassha gak keras kepala dan ngabisin sambel di rumah, kayaknya gue gak ada masalah deh." Ucapnya lagi. Tassha memberikan tatapan tajam kearah Max, keduanya memang selalu rebutan sambal yang dibuat oleh Ibu mereka disini. Sambal yang limited edition karena cabenya selalu kekurangan.
"Pokoknya besok ibu bungkusin, gue yang makan." Ucap Tassha lagi dengan nada bercanda.
"Sha, your turn."
"Apa ya, gue gak tahu juga. Makasih ya udah terima keras kepala gue. Karena gue juga suka dengan mengajar gini, jadi gue kesel banget kalau progres kita lambat. Gue rasa Egi udah jadi leader yang baik, kalau gak karena kesabaran lo, udah berantem tiap hari kita." Ucapnya lagi.
"Oh iya, gue penasaran kebetulan banget ya Aria sama Max bisa lulus. Itu kalian ngerjainnya barengan atau gimana?" Tassha bertanya lagi. Ia tahu lulus kegiatan ini tidak hanya tentang mengisi aplikasi, tapi juga pengalaman mereka sebelumnya dan refleksi hidup mereka yang membuat mereka bisa lulus.
"Kita ngerjainnya barengan. Kita belum cerita ya. Max kuliah di Oxford Law School dan gue di Oxford Business. Kita memang pernah bikin projek kecil-kecilan bareng. Mungkin karena itu kita dilulusin?" Kata Aria dengan nada ragu. Sontak Tassha dan Hani memberikan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.
"MABA Hukum dan Bisnis yang kalian bilang itu di Oxford?" Tanya Tassha memastikan.
"Iya, abis kalau gue bilang dari awal ntar kayak gimana aja."
"Kita sahabatan dari kecil dan karena mama gue khawatir sama Tassha ikutan beginian sendiri, gue juga ikutan deh." Ucap Max kali ini menjelaskan lebih panjang.
"Dan kita juga mau buat pengakuan."
"Pengakuan apa lagi?" Tassha memberikan nada tidak sabar. Ia tak tahu rahasia apa lagi yang dimiliki oleh kedua sahabat ini.
"Jujur, sebenarnya MolinCorp, sponsor utama kegiatan gue itu punya keluarga Max. Cuma kita sama sekali gak nepotisme kok. Kita gak tunjukkin nama asli saat daftar dan pas kita diterima, kita mutusin untuk tambah dua kuota lagi jadi gak ada yang dirugiin saat kita ikut."
"So, you guys are like rich?" Tanya Tassha ragu-ragu.
Aria tertawa, "Gak tahu kalau kalian sebut gitu. Jujur awalnya gak ada niat mau bilang, but as I feel that we are building a genuine friendship, I just feel the urgency to let you know. Tapi gaada yang berubah kok."
"At this point, I don't know. Kalian lebih merakyat dari rakyat jelata seperti gue." Ucap Tassha dengan nada bercanda. Egi mengangguk tertawa, mengiyakan ucapan Tassha. Hani? Tidak perlu ditanya. Anak itu memberikan ekspresi sumringah tidak percaya dan terus menatapi Max dan Aria, membuat skenario-skenario drama di kepalanya. Dasar bocil SMA!
**
Author's Note:
Hmmm.. I don't know what to say lol.
Aku udah nulis cerita ini sampai bab 12 dan gatau mau dibawa kemana, jalanin gitu aja deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFITTED, UNFATED [completed]
Literatura FemininaFRIENDS TO LOVERS. Many thought to conquer love, you should conquer friendship. But what if the word "friendship" is why you never started in the first place? This is the story of four friends who have been together for 10 years. Tassha Umari, the l...