Ji membiarkan airmatanya mengalir, laki-laki itu tengah menelan kerinduan pada sebuah nama yang tersemat abadi di dalam dadanya, setiap hari rindunya semakin besar bahkan rasanya ia ingin meledak karena semakin hari semakin tidak kuat menahan rindunya itu.
Sudah 6 tahun dia meratapi nasibnya, menabung rindu pada sosok gadis yang 6 tahun lalu hampir dinikahinya, dia marah pada dirinya sendiri karena selama ini dia telah menyakiti gadis itu, Ji sadar dengan kebodohannya meninggalkan gadis itu disaat hari pernikahannya tiba, bahkan mungkin gadis itu sudah siap dengan penampilan khas pengantinnya namun Ji dengan tega tidak datang ke tempat acara pernikahannya sendiri.
Ji sedih karena merasa tidak pantas merindukan gadis itu, ia tidak pantas mencintainya lagi sebab dengan kepergiannya saat itu Ji yakin gadis itu menyimpan kebencian yang teramat besar. Katakanlah Ji tidak tahu diri bahwa sampai saat ini cinta itu masih ada, rindu itu masih kian menggunung bahkan rasanya sesak, rindu yang menuntut sebuah temu namun Ji tidak berani, untuk menatap dari jauh saja Ji tidak bisa bagaimana dia bisa berani bertemu gadis itu? Ji benar-benar tidak punya nyali, mencintai dalam diam, menumpuk rindu dalam keheningan menjadi sebuah cara dirinya merasa dekat dengan gadis itu.
Ji merasakan kesunyian yang mencekam, hatinya tersiksa sebab ada rindu untuknya yang kian mengikat hatinya. Bayangan lembut sinar di wajah gadis itu membuat rindunya semakin memaksa, jika bertemu adalah obatnya maka seharusnya Ji mencoba untuk menemui gadis itu, namun Ji selalu sadar dengan keadaannya, dia tidak cukup memiliki keberanian karena dia tidak siap dibenci oleh orang yang dia cintai.
Tok tok tok
"Boleh kakak masuk Ji?" Teriak seorang gadis di balik pintu kamar Ji, sebut saja dia Irene saudara kandung Ji satu-satunya.
"Iya masuk aja kak" sahut Ji dengan mata yang masih terpejam dan tidak merubah posisi tidurnya sama sekali, Ji tidak tidur dia hanya memejamkan mata sambil mengingat kenangannya bersama orang yang sedang dia rindukan.
"Memikirkan Jennie?" Ucap sang kakak yang sudah hafal bagaimana adiknya itu, bagaimana Irene tidak hafal jika setiap hari Ji akan mengeluh pada dirinya.
"Sampai kapan kamu mau seperti ini Ji, apa ini tidak menyiksa? Ayo berbagi perasaan kamu dan kita cari jalan keluarnya, atau kita temui Jennie"
"Aku tidak pantas untuknya kak, jadi untuk apa toh Jennie juga pasti benci aku"
"Kakak tau itu, kakak tau perasaan kamu, tapi apa salahnya kalau kamu mencoba bertemu dan menjelaskan alasannya?"
"Aku tidak mau Jennie semakin membenciku"
"Kamu belum mencobanya Ji, menurut kakak kamu harus mencoba bertemu dengan Jennie paling tidak kamu meminta maaf""Aku tidak bisa, kakak tau keadaan ku dan aku kehilangan kepercayaan diriku untuk bertemu dengannya"
"Terserah kamu deh, kamu memang susah di kasih tau, kakak udah nggak tahan melihat kamu mengurung diri terus"
"Maafin aku kak, pasti sulit ya mengurus aku" Ji sendu, mengingat memang selama 6 tahun ini Irene banyak mengorbankan waktu untuk dirinya.
"Bukan itu pointnya, mau bagaimana pun kamu, kakak pasti bisa meluangkan waktu untuk kamu, kakak hanya mau kamu keluar dari zona nyaman kamu, ini sudah 6 tahun Ji"
"Aku ....."
"Gini ya Ji, hidup itu harus maju, kakak tau perusahaan kita stabil bahkan melonjak tinggi dengan dipimpin oleh kamu, ya walaupun kamu kerjanya cuma dari rumah, tapi mengenai Jennie dan masa lalu bisakah kamu damai dengan takdir itu? Papa mama pasti sedih melihat keadaan kamu yang seperti ini""Dengar ya Ji, kakak nggak mau tau kamu harus keluar dari zona ini, besok ada meeting dengan perusahaan Lloud tolong kamu hadir disana"
"Tapi kak ..."
"Tidak ada zoom meeting seperti biasanya, kamu harus bisa terbiasa dengan lingkungan luar, kamu harus mencobanya Ji, kembali pada hidupmu yang normal akan membuat mama papa senang, mereka akan kecewa jika kamu masih seperti ini, ayo bangkit Ji"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUK sebuah NAMA
Fanfic"Apa kabar Jen" Ji bertanya lirih bahkan yang tadinya tegas dan berwibawa justru kini laki-laki itu mendadak lemas. Dia rindu pada wanita dihadapannya ini tapi dia juga tidak memiliki hak untuk mengungkapkan perasaannya. Ji tau betul bahwa Jennie ke...