BAB 1

5.7K 134 6
                                    

Aku terus berjalan menyusuri jalan yang masih basah akibat hujan yang turun pada hari ini.
Seakan dunia mengetahui keaadaanku saat ini yang sedang sedih.

Sang pencipta langitpun menurunkan hujan sebagai perwakilan airmataku yang sungguh tak ingin aku keluarkan dari tempatnya. Bukan berarti aku manusia yang tidak normal,  sungguh aku manusia normal, hanya saja air mataku terlalu berharga untuk menangisi seorang laki-laki brengsek seperti Agus, kekasih yang kini resmi menjadi mantan kekasihku sejak dua jam yang lalu. Dia manusia yang tidak memiliki hati bahkan otak mungkin.
Aku benar-benar marah kali ini.
Apa bisa kalian bayangkan?

selama setahun kita menjalin hubungan dan tadi aku melihatnya sedang berciuman dengan seorang wanita yang menurutku lebih jelek dariku. Menyebalkan.

Kini rasa cintaku sudah berubah menjadi benci yang sangat. Ingin sekali aku mengutuk semua pria yang ada di dunia ini, kecuali Ayahku. Ini bukan yang pertama kalinya aku diselingkuhi, sebelum bersama Agus aku sudah lebih dulu diselingkuhi Bimo, Ajar, dan Tino. Sial bukan? Semua laki-laki itu brengsek.

"MAYA.." teriak seorang perempuan diseberang jalan. Aku sangat menganalinya, dia adalah Ratih sahabatku sejak aku masih ngompol di kasur sampai sekarang. Aku menggerakan kepalaku kekanan dan kiri memastikan aman untuk aku menyebrang.

"Ratih, kenapa baru datang". Cecarku setelah aku berhasil menghampirinya.

"Hey, nggak usah marah. Utung aja tadi gue berhasil nyelametin kamar lo dari amukan madam,"

Ya, Madam adalah ibu kostku, semua orang diwajibkan memanggilnya madam Lena. Menurutku dia sedikit gila, dia memasang tarif kost yang begitu mahal, jika dilengkapi dengan kapasitas yang bagus mungkin no problem tapi ini..???

"Ratih, makasih muah-muah deh buat elo." Aku harus bersyukur punya teman seperti Ratih yang selalu siap membantuku.

"Hihhh, najis banget sih." Kata Ratih dengan sedikit menjauhkan badannya dariku. "Tapi lo besok harus siap terima amukannya lagi kalau sampai nanti malam lo belum juga bayar kost."

"Pasti gue bayar nanti."

"Oh ya, tadi lo bilang ditelpon ada masalah besar, ada apa?" tanya Ratih.

"Gue putus dari Agus, Rat" jawabku.

"APAHHH, SUMPEH LO DEMI APAH, kok bisa?" Sontak Ratih membuatku kaget, kenapa dia selebay ini, padahal ini kan bukan pertama kalinya Ratih mendengar aku putus.

"Agus selingkuh, Rat" Jawabku memelas pada diriku sendiri.

"Oh, selingkuh."Jawab Ratih dengan ekpresi wajah sedatar mungkin. Dia memang aneh, tadi kagetnya bukan main tapi kenapa sekarang seperti terlihat biasa saja. "Kok, lo nggak sekaget tadi denger Agus selingkuh?" tanyaku yang penasaran.

"Udah biasa, kalau alesannya lain mungkin gue bakal kaget banget". Seketika pengen aku pindahin sadal dari kakiku kemuka Ratih.

*****************

Benar kata Ratih, karena kemarin aku terlalu lelah hingga aku lupa membayar uang kost, tepat ketika aku membuka pintu kamar kostku seorang wanita paruh baya bertubuh lebar, tapi tidak selebar daun kelor, memakai daster sepajang lututnya dengan motif bunga-bunga ala Syahrini, rambut poninya yang selalu dia rol, mungkin dia juga ingin membuat jambul katulistiwa, wah madam syahrini hati-hati ada saingan besar nih...

Aku tahu Madam Lena pasti akan menagih uang kost, langsung saja aku keluarkan uang dari tasku, aku tidak mau berdebat lama dengannya, aku sudah sangat terlambat untuk masuk kerja. Dengan berat hati aku serahkan beberapa ratus uang kepada Madam Lena.

"Nah, gini kan enak, madam tidak perlu repot ngomel sama kam....". jika aku terus diam mendengarkan omongannya pasti butuh waktu sejam untuk mendengarkannya, mungkin dia bercita-cita menjadi pendakwah. "Sudah ya madam, Maya buru-buru." Aku langsung pergi meninggalkan madam yang masih mematung di depan pintu kamarku

*******************

Jakarta membuatku kesal, tidak bisakah sehari saja tidak macet, setidaknya untuk hari ini saja. Aku terus melirik ke arloji di tanganku, jarum jam pendek sudah hampir mendekati angka 8 sedangkan jarum panjang sudah berada diangka 9, itu bearti lima belas menit lagi memasuki jam kerja.

Jika hukuman yang aku terima sama seperti anak sekolah yang hanya cukup membersihkan toilet, aku tidak akan sepanik ini, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku.  Aku masih butuh uang untuk makan, untuk beli baju, tas, sepatu, make up, dan yang paling penting adalah untuk membiyanyai adikku Reza, yang kini duduk dibangku SMA.

"Aduhh, Pak kok, angkotnya nggak jalan-jalan si, aku bisa telat nih." Keluhku.

"Kalau mau cepet jalan naik pesawat aja neng, sudah tahu macet." Sialan ni supir angkot, kalau harga pesawat lima ribu nggak bakal gue naik angkot.

"Gue pengennya juga gitu bang,  sudahlah turun disini saja." Aku turun dari angkot dan memberi beberapa lembar uang dua ribuan,  dan langsung mencari tukang ojeg.

Setelah dua puluh menit aku sudah sampai didepan kantorku. Sial, aku sudah telat lima belas menit.

Aku berlari masuk ke dalam kantor. Damn,  hak sepatuku memperlambat gerak lariku, tahu begini mending aku pakai sandal jepit saja. Setelah beberapa detik aku sampai di depan pintu ruang kerjaku, langsung saja aku membuka pintu dan betapa kagetnya setelah melihat isi ruangan yang tak berpenghuni, gue gak lagi ngelindur kan, ini bukan hari libur kan?? Batinku.

Tak lama segerombolan orang mulai muncul, kulihat Arum sedang berjalan ke arahku. "Lo telat lagi,  May." Tanya Arum. Aku hanya mengangguk.

Satu persatu orang mulai datang, ya, mereka adalah penghuni ruangan ini.

"Sumpah ganteng banget. Senyumnya Lin, bikin gue deg-deg deh," Ucap Nina yang sedang ngobrol dengan Linda.

Aku jadi kepo, siapa yang dibilang ganteng. "Nin, siapa yang lo maksud?" Tanyaku penasaran.

"Lho, Maya. Lo kebo banget sih. Tadi kita habis meeting besar." Jawab Nina.

"Meeting apa?"

"Tadi ada meeting perkenal CEO yang baru dikantor kita." Kata Linda.

"Iya, dan lo rugi banget nggak ngerasain tangan halus Mister ganteng," sambar Nina, dia sama saja seperti Ratih, Alay.

"Itu nggak penting buat gue, yang terpenting buat gue sekarang, gimana caranya buat Pak Budio nggak marah sama gue."

"Bilang aja lo baru keluar dari rumah sakit,"  Usul nina, yang udah gue yakin nggak akan bener.

"Rumah sakit," tanya Arum dengan tampang blo'onya.

"Iyaa, Rumah Sakit jiiwa hahaha". Mereka tertawa, kurang ajar, teman macam apa mereka, tertawa di atas penderitanku. Nina pengen banget gue uleg jadiin sambel ayam penyet.

"MAYA.." Suara yang tak ingin aku dengar akhirnya muncul juga.

"Pak Budio," Aku menundukan kepalaku dan teman-temanku langsung pergi meninggalku, sial.

"Ikut keruangan saya sekarang!!" printahnya.

Dengan sangat terpaksa aku mengikuti langkah pak Budio sambil terus berkata dalam hati tamat-riwayat-gue.

Cinta sejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang